Meski begitu, menurutnya, penghasilan dengan besaran fantastis tersebut bisa diraih apabila pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan struktural yang menghantui sektor pertanian dari dulu hingga saat ini.
Pertama, katanya, kemudahan untuk mendapatkan pupuk subsidi. Berdasarkan pengalamannya, petani-petani kecil kesulitan untuk meraih pupuk subsidi karena syarat yang diberlakukan tergolong rumit, seperti harus menyertakan sertifikat kepemilikan lahan. Ia menjelaskan, kebanyakan petani yang ada saat ini merupakan petani yang menyewa lahan, dan seringkali pemilik lahan tidak mau menyerahkan salinan atau fotokopi sertifikat lahan kepada para petani penggarap tersebut.
Kedua, katanya, obat-obatan untuk membasmi hama dan benih yang harganya sangat mahal. Hal lainnya, dan yang tidak kalah pentingnya, adalah masalah importasi yang kerap dilakukan oleh pemerintah dengan alasan untuk menstabilkan harga di level konsumen.
“Lalu soal importasi. Stabilisasi harga pangan yang digenjot oleh pemerintah itu sering bertabrakan dengan petani. Misalnya kita lagi panen raya tiba-tiba pemerintah impor beras atau jagung, otomatis harga langsung ambles di sini. Mau gak mau ya kita petani melempar sesuai harga di pasar, sementara harga sudah hancur. Cabai misalnya kalau harganya lagi Rp100 ribu itu kita senang, tapi pemerintah kan selalu melakukan stabilisasi harga, langsung impor otomatis harga langsung anjlok,” jelasnya.