Kalangan pelaku usaha, kata Shinta, merasa kenaikan UMP 6,5 persen ini terlalu tinggi sehingga akan berdampak langsung pada biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional perusahaan, khususnya di sektor padat karya.
Oleh sebab itu, dalam kondisi ekonomi nasional yang masih menghadapi tantangan global dan tekanan domestik, menurutnya, kenaikan ini dinilai berisiko meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional.
“Hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru,” jelasnya.
Sementara itu, ekonom Indef Tauhid Ahmad menilai cukup terkejut dengan kenaikan UMP tahun depan 6,5 persen. Menurutnya selama ini kenaikan UMP tidak pernah lebih dari lima persen.
“Itu luar biasa, saya respect juga karena dengan formula itu tidak akan pernah lebih dari lima persen secara agregat,” ungkap Tauhid.
Angka 6,5 persen tersebut katanya jika dilihat berdasarkan data ASEAN Productivity juga termasuk kategori yang cukup tinggi. Tauhid menduga keputusan ini diambil untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga di dalam negeri.