IPOL.ID – Wacana penerapan pendekatan restoratif dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi (tipikor) dari retributif ke restoratif yang dilontarkan Menko Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, menuai kritik dari anggota Komisi III DPR M. Nasir Djamil.
Nasir mengingatkan Yusril agar lebih hati-hati bicara soal pendekatan restoratif tersebut terhadap pelaku tipikor. Pasalnya, hal itu menyangkut dengan sensitivitas publik.
Sebab indeks persepsi korupsi di Indonesia masih rendah dan korupsi yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime karena melibatkan kejahatan kerah putih, korupsi politik, dan korupsi yudisial.
“Karena kita tahu indeks persepsi korupsi kita turun. Kemudian korupsi juga masih menjadi musuh bangsa karena masuk dalam kategori extra ordinary crime karena melibatkan kejahatan kerah putih. Korupsi politik. Korupsi yudisial,” ungkap Nasir mengutip parlementaria, pada Jumat (20/12).
Politisi Fraksi PKS ini pun menilai bahwa daripada menimbulkan kegaduhan, lebih baik wacana tersebut dihentikan.
Sebaliknya, sebelum melangkah ke sana, Nasir menilai banyak hal yang harus diperbaiki, khususnya terkait moralitas pejabat terkait.
“Sebaiknya memang jangan mengumbar hal-hal yang kontraproduktif dalam hal upaya Pak Presiden terkait (pemberantasan) tipikor itu,” katanya.
“Karena di banyak negara korupsi itu bahkan dihukum mati. China, misalnya. Kita sayang dengan Pak Prabowo. Jadi, seolah-olah (dengan adanya wacana) ini Pak Prabowo itu dinilai memandang memandah remeh kejahatan tindak pidana korupsi. Padahal, beliau sangat strict terkait kasus korupsi itu. Sebaiknya memang jangan mengumbar hal-hal yang kontraproduktif dalam hal upaya Pak Presiden terkait (pemberantasan) tipikor itu,” pungkasnya.
Untuk diketahui, dalam pendekatan restoratif, pelaku tindak pidana korupsi tidak harus dipenjara. Mereka cukup mengembalikan dana.
Selama ini pendekatan restoratif digunakan dalam tindak pidana ringan (tipiring) seperti perkelahian tanpa senjata, perusakan properti, atau pidana ringan yang melibatkan anak dan perempuan.
Sebelumnya, rencana perubahan ini diungkapkan Menko Yusril di acara diskusi bertemakan Agenda Pemberantasan Korupsi Kabinet Merah Putih yang digelar secara virtual oleh Forum Insan Cita, pada Minggu (15/12) malam.
Yusril bilang bahwa Indonesia masih memakai pendekatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) era kolonial Belanda dalam paradigma pemberantasan korupsi.
Padahal, lanjut dia, KUHP telah diperbarui dengan UU Nomor 1 Tahun 2023 yang membuka ruang rehabilitasi dalam penegakan hukum pidana. Hanya saja, ruang tersebut belum diakomodir dalam berbagai aturan pemberantasan korupsi.
Untuk itu, pemerintah akan mengubahnya dengan tak hanya menekankan pemenjaraan yang sifatnya balas dendam seperti di KUHP warisan kolonial Belanda, tapi lebih menekankan keadilan kolektif, restoratif dan rehabilitatif. (far)