Galau mengungkapkan, kebijakan tersebut akan semakin menekan daya beli masyarakat. Ke depannya, ia melihat akan ada pola penyesuaian atau perubahan konsumsi dari masyarakat yang nantinya akan mengurangi pengeluaran terhadap barang-barang tidak esensial seperti hiburan, dan perjalanan.
Selain itu, masyarakat miskin yang pendapatan per bulannya rata-rata hanya Rp500 ribu, diperkirakan akan menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp100 ribu per bulan. Bansos yang diberikan oleh pemerintah pun, kata Galau, tidak akan cukup menjadi penolong karena hanya diberikan dengan jumlah dan waktu yang terbatas.
Menurutnya, alangkah lebih baik jika pemerintah membatalkan kebijakan kenaikan PPN 12 persen tersebut mengingat kondisi perekonomian dalam negeri yang sedang tidak baik. Fakta ini, kata Galau, tercermin dari dari omset UMKM di 2024 yang turun hingga 60 persen, dan jumlah kalangan masyarakat menengah yang terus menurun.
“Justru ketika melakukan pemajakan terhadap konsumsi itu akan meningkatkan shifting kebutuhan. Jadi yang ada barang-barang di pasar akan semakin naik harganya. Bahkan sebelum PPN ini berjalan di 2025, itu harga-harga mobil sudah naik. Pengusaha sudah menyesuaikan. Jadi kita akan tiba di satu kondisi ekonomi yang di mana rumah tangga tidak mampu membeli lebih banyak, kecuali kebutuhan primer sehingga industri yang selama ini mungkin masih bisa bertahan itu akan menghadapi hantaman yang semakin dalam,” jelasnya.