“Alih-alih menyembuhkan itu (kondisi masyarakat kelas menengah), malah menambah beban dengan PPN 12 persen. Padahal minimal yang dilakukan pemerintah itu tidak menambah beban,” tuturnya.
Sementara itu Ekonom Next Policy Yusuf Wibisono menilai kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ini terlihat menjadi “jalan pintas” yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dari sisi perpajakan yang stagnan dalam satu dekade terakhir. Rasio pajak pada tahun 2023, katanya, hanya mencapai 10,23 persen, yang bahkan lebih rendah dari 2015 yang mencapai 10,76 persen.
Selain itu, menurutnya pendapatan yang diperoleh negara dari kenaikan tarif PPN juga tidak signifikan, yaitu berada pada level tiga persen dari PDB sejak 2021.
“Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 selayaknya dibatalkan, karena tambahan kenaikan penerimaan dari kenaikan tarif PPN ini berpotensi tidak sepadan dengan biayanya, mulai dari semakin lemahnya daya beli masyarakat terutama kelas bawah dan kelas menengah, potensi inflasi serta potensi meningkatnya kesenjangan,” ungkap Yusuf.