Dengan semakin luasnya definisi keamanan nasional, menurut dia, sudah saatnya perempuan diakui sebagai bagian penting dalam upaya perlindungan dan stabilitas negara. “Pendekatan Women, Peace, and Security (WPS) harus menjadi bagian dari kebijakan nasional. Perempuan tidak hanya sekadar korban dalam berbagai konflik atau krisis, tetapi juga harus diakui sebagai aktor aktif dalam pertahanan negara. Bukan hanya dalam perencanaan, tetapi juga dalam aksi nyata,” kata Diah Pitaloka.
Agenda WPS di tingkat internasional diinisiasi pada tahun 2000 yang dituangkan dalam Resolusi 1325 dan menjadi bentuk pengakuan terhadap posisi perempuan sebagai aktor dalam perdamaian dan resolusi konflik.
Di Indonesia, agenda WPS diwujudkan melalui penyusunan rencana aksi yang tertuang dalam Permenko PMK Nomor 5/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) 2020-2025.
Prinsipnya, perempuan bukan hanya korban konflik, tetapi juga pelaku perubahan yang memiliki peran krusial dalam menjaga perdamaian dan keamanan. Oleh karena itu, agenda Women, Peace, and Security (WPS) harus terus diperkuat dan diimplementasikan secara nyata. Dengan memastikan partisipasi perempuan dalam semua aspek keamanan dan perdamaian, dunia dapat menciptakan tatanan yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.(*)