“Di Bali, kami mengantisipasi berbagai dampak terhadap garis pantai berdasarkan skenario yang berbeda dan menyarankan penilaian terhadap permukaan air laut, bersama dengan langkah-langkah perlindungan dan responsif,” tuturnya.
Rahayu mengatakan bahwa sejak 2007, 26 negara dan kawasan di Asia telah mengadopsi perencanaan kota tanggap tsunami, yang menunjukkan signifikansinya dalam memperkuat ketahanan kota. Selain itu, pendekatan ini melibatkan upaya kolaboratif dari berbagai sektor, termasuk upaya pembahasan risiko bencana melalui pendidikan, pengelolaan sumber daya lingkungan, jasa keuangan, perencanaan tata ruang, dan pembangunan infrastruktur.
Indonesia dan China telah terlibat dalam berbagai bentuk kolaborasi yang berfokus pada pembangunan kelautan yang berkelanjutan.
Sebagai contoh, pada Mei 2010, Pusat Kelautan dan Iklim China-Indonesia didirikan di Jakarta. Pusat itu berfungsi sebagai platform nasional untuk kerja sama dalam hal-hal yang berhubungan dengan laut, memfasilitasi penelitian, pertukaran, serta pengembangan kapasitas di bidang laut dan perubahan iklim antara kedua negara tersebut.