Para analis industri menilai kejatuhan Sritex mengungkap masalah struktural di sektor manufaktur Indonesia.
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menilai daya saing manufaktur Indonesia terus melemah akibat biaya logistik yang tinggi, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, serta suku bunga yang terus naik.
Indonesia juga kalah bersaing dengan Vietnam dan Bangladesh yang memiliki biaya produksi lebih rendah, menarik minat merek-merek fesyen global. Sementara itu, banjirnya tekstil murah dari China—yang diperparah dengan lemahnya kebijakan proteksi dagang—semakin menekan produsen dalam negeri.
Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan bahwa kebijakan proteksi perdagangan yang diterapkan oleh beberapa negara untuk membatasi ekspor ke produsen tekstil utama seperti China telah menyebabkan kelebihan stok persediaan.
“Akibatnya, surplus tersebut diekspor ke negara-negara dengan kebijakan proteksi perdagangan yang lemah, seperti Indonesia,” kata Jemmy.