Oleh: Tundra Meliala
Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat
JAKARTA || Awal pekan ini, seorang pria bertubuh tambun melangkah masuk ke ruang sidang Pengadilan Negeri dengan pakaian serba putih. Peci hitam menempel rapi di kepala. Tangannya memegang tasbih kecil yang sesekali ia putar-putar di sela jemari. Ia tersenyum samar, seolah bukan terdakwa kasus korupsi miliaran rupiah. Beberapa pengunjung sidang berbisik, “Wah, baru tobat, ya?”
Fenomena terdakwa yang tampil dengan simbol-simbol kesalehan bukanlah hal baru di Indonesia. Entah sejak kapan tepatnya tren ini mengakar. Yang jelas, sudah lebih dari satu dekade, ruang sidang di tanah air kerap menghadirkan pemandangan seperti majelis taklim dadakan. Terdakwa pria mengenakan baju koko dan peci, perempuan memakai gamis dan hijab lebar. Terkadang ditambah janggut dan celana cingkrang—atribut yang mengesankan perubahan hidup menuju jalan Tuhan.
Kita mungkin masih ingat peristiwa pasca Bom Bali, saat tiga bersaudara pelaku terorisme tampil di pengadilan dengan pakaian yang sama. Ali Imron dan dua kakaknya tak hanya mengguncang dunia lewat ledakan, tetapi juga lewat visual baru tentang “tersangka yang alim”. Sejak itu, seolah ada pola berulang yang terbentuk: tampil saleh di ruang sidang, entah untuk menggugah empati publik, meringankan vonis, atau sekadar pencitraan spiritual.