Karena Tyto alba tidak membangun sarang sendiri, Rubuha menjadi kunci keberhasilan program konservasi ini sekaligus menjadi fasilitas penting bagi mereka untuk menetap dan berkembang biak. Setiap Rubuha biasanya diletakkan dengan jarak 100 hingga 200 meter, tergantung luas lahan. Hal ini juga agar wilayah jelajah antarburung (sekitar 12 hingga 25 hektar per pasang) tidak saling tumpang tindih.
Sebelum dilepas ke alam, burung hantu bisa ditangkarkan dan dilatih terlebih dahulu di kandang karantina. Dalam fase ini, mereka dikenalkan dengan tikus hidup sebagai pakan, lalu dilepas ke lingkungan pertanian secara bertahap.
Sistem ini tidak hanya memastikan adaptasi yang mulus, tetapi juga memungkinkan burung berburu tikus secara mandiri tanpa ketergantungan pada manusia. “Pemantauan populasi juga tetap diperlukan agar tidak terjadi ketidakseimbangan. Misalnya, saat jumlah tikus menurun drastis dan burung hantu mulai memangsa satwa lain,” imbuh Yudhistira.
Keberhasilan pendekatan ini sangat bergantung pada keterlibatan petani, edukasi yang memadai, dan dukungan kebijakan dari pemerintah. Fasilitasi penyediaan Rubuha dan pemantauan populasi burung menjadi bagian penting dari pengelolaan ekosistem pertanian yang sehat dan berkelanjutan.