Hal ini terjadi karena AS di bawah kepemimpinan Donald Trump 2.0 kini sedang berada di ambang resesi ekonomi akibat kebijakan serampangan Trump. Hal ini dapat dilihat dari indikator ekonomi AS seperti produk domestik bruto (PDB) AS yang terkontraksi ke angka 0,3 persen pada kuartal 1 tahun 2025. Padahal pemberlakuan tarif resiprokal ditunda hingga 9 Juli 2025.
Trump mulai merasakan akibat buruk dari kebijakan yang diambilnya. Produk teknologi AS seperti Boeing misalnya, beberapa waktu lalu mulai tidak dianggap China. Secara eksplisit, China menolak produk Boeing dengan membatalkan pesanan pesawat asal AS tersebut imbas dari tarif 145 persen yang dijatuhkan AS kepada China. Bahkan di internal AS, perlawanan terhadap kebijakan tarif resiprokal Trump masif terjadi, desakan untuk menghentikan kebijakan tersebut benar-benar menekan Trump.
Kebijakan penundaan pemberlakuan tarif resiprokal oleh Trump hinggga bulan Juli 2025 membuktikan bahwa Trump mulai goyah dan berpikir ulang. Ia berharap dengan adanya jeda pemberlakuan tarif, negara-negara yang ingin selamat dari pemberlakuan tarif Trump satu per satu mendatangi AS untuk merundingkan soal tarif. Namun tidak dengan China. China menjadi satu-satunya negara yang terdampak tarif resiprokal Trump yang tidak mau mendekati AS hanya untuk menurunkan atau melongggarkan tarif impor yang seenaknya itu. China malah tidak mau ambil pusing dengan AS. Bagi China masa bodoh soal tarif, ekonomi mereka tetap akan tumbuh signifikan terlepas dari ada atau tidaknya perang tarif AS.