IPOL.ID – Masyarakat luas dan mereka yang tergabung dalam organisasi Persaudaraan Aktivis dan Warga (Pandawa) Nusantara mendorong revisi Peraturan Presiden (Perpres) 191 Tahun 2014 untuk segera diterbitkan.
Sebab, pada Perpres 191 yang lama, penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi banyak disalahgunakan orang-orang yang mencari celah.
Hal tersebut diutarakan oleh Yapit Sapta Putra selaku Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) bahwa terkait Perpres 191 tahun 2014 yang lama, banyak celah dimanfaatkan oleh orang-orang yang menggunakan BBM subsidi, seperti dari konsumen transportasi darat dan sektor perikanan. Nah, salah satu tugas BPH Migas mengawasi, terkait penyaluran BBM subsidi ini.
“Semisal, banyak SPBU di Palu, buka jam 6 pagi, jam 9 pagi sudah habis. Konsumen atau warga Palu sendiri tidak bisa menikmati BBM bersubsidi maka pemerintah setempat membuat Surat Edaran maksimal pengisian BBM bersubsidi Solar Rp500 ribu,” kata Yapit dalam FGD bertema ‘Sosialisasi Penyaluran BBM Subsidi dengan Program Subsidi Tepat’ di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (30/11).
Dia mengatakan, dalam Perpres 191 yang lama tersebut, untuk saat ini tidak ada larangan bagi pengguna mobil Fortuner dan Pajero untuk mengisi BBM bersubsidi Pertalite maupun Solar.
Terkait revisi Perpres 191 tahun 2014 untuk segera diterbitkan, Yapit mengatakan, urgensinya sangat kemudian bicara manfaat dan urgensi kena semua. Kenapa manfaat, karena kalau dilihat dari pola kuota BBM subsidi yang sudah disetujui pemerintah dan banggar polanya menjadi penurunan di tahun 2022 dengan tahun depan.
“Tahun sekarang pasca perubahan itu 17,9 juta kiloliter. Tahun depan ketuk palunya diangka 17 juta kiloliter. Artinya menurun, sedangkan jika bicara pertumbuhan ekonomi lebih pesat dari tahun sekarang.
Kebutuhan BBM akan naik, jika terlambat mengeluarkan aturan yang clear maka yang akan bingung nantinya teman-teman di SPBU Pertamina, di lapangan mengenai gidentnya seperti apa,” tukasnya.
Jika bicara Perpres sekarang, katanya, tidak mengatur terkait Pertalite, itu salah satu contoh. Jika Pertalite tidak diatur lebih lanjut maka yang akan kebingungan masyarakat di bawah bagaimana aturan bakunya. “Jadi PR-nya bukan hanya pada pendistribusian Solar tetapi Pertalite juga. Lonjakan animo masyarakat mengisi Pertalite menjadi kenaikan,” ungkap Yapit.
Menurutnya, jika tidak ada aturan BBM bersubsidi maka akan jebol nantinya. Karena bicara subsidi dan kompensasi ada dua jenis. Ada subsidi Solar dan subsidi kompensasi Pertalite. “Bagi saya ada beberapa yang abu-abu dan tidak jelas dalam Perpres yang lama itu,” tegasnya.
Bicara kendaraan bermotor bisa semua plat hitam tidak dibatasi CC-nya, jenis kendaraannya. Relevansinya terkait kemampuan daya beli orang. “Faktanya banyak kendaraan yang harusnya harga belinya mahal, karena yang pakai sopir jadi colong-colongan beli BBM dengan harga murah. Orang gak mau rugi supaya ada selisihnya,” ungkapnya.
“Dalam revisi Perpres 191 itu nanti kita mohonkan seperti itu, akan ada pengendalian kendaraan jenis apa yang bisa pakai BBM subsidi. Ada yang kendaraan 1500 CC, jika ada pengendalian seperti itu maka jumlah volume BBM bisa dikurangi,” ucapnya.
Kemudian bicara pada Sektor Perikanan, sekarang di bawah 30 Gt untuk Kapal, nanti maksimal 30 Gt. Karena 30 Gt itu diindikasikan bukan Nelayan yang butuh BBM subsidi, tetapi tingkatannya Nelayan yang pengusaha/perusahaan.
“BBM subsidi itu buat menstimulasi agar orang tumbuh, ngapain memberikan subsidi kepada perusahaan, jadi hal-hal itu yang akan diatur dalam revisi terkait Perpres 191 itu,” tandasnya.
Lebih jauh, dia katakan, dalam setiap pengajuan produk hukum, artinya pasti ada kementerian atau lembaga yang menjadi pemrakarsa. Terkait revisi Perpres 191 kemudian yang diketahui izinnya ada di Kementerian BUMN, tetapi awalnya sebenarnya ada di Kementerian ESDM.
“Bisa jadi awal Agustus 2023 akan terjadi pelimpahan, dari Kementerian ESDM ke BUMN. Kemudian ada kesepakatan antar pemerintah, menteri, akan ada peralihan lagi izin pemrakarsanya dari BUMN ke ESDM yang mengawal agar barang itu sampai ke meja Presiden RI. Untuk dipelajari, diharmonisasi dan ditandatangani Presiden,” bebernya.
Tapi sampai saat ini, sambungnya, ternyata belum ada peralihan itu. Yang jelas ini dinantikan orang banyak, pihaknya sudah melakukan kajian. “Yang jelas disegerakan diberikan ke Sesneg dan dipelajari. Jika langkah itu tidak jalan ya bagaimana”.
Lebih lanjut, dia katakan, BPH Migas dalam hal ini mengendalikan BBM subsidi ini. Masalah teknis terkait harmonisasi dan macam-macam yang penting maupun yang harus diimplementasikan harusnya jangan berlama-lama. Nanti tantangan di BPH Migas dan Pertamina di 2023 semakin besar.
Terkait data base plat nomor kendaraan, pihak BPH Migas, Pertamina bersama Korlantas Polri telah melakukan pembahasan itu. Karena, menurutnya, saat pengisian Solar bersubsidi, bisa saja ada kendaraan yang memakai nopol bodong.
“Contohnya, banyak kejadian truk yang mengisi Solar berkali-kali menukar plat nomor truknya dengan plat motor. Salah satunya di daerah Pertambangan dan Perkebunan ada tendensi terjadi kecurangan, yang mengakali ada saja,” katanya.
Nah, data Korlantas Polri itu yang diperlukan, jadi pihaknya sedang menunggu MoU tersebut. “Jika selesai maka akan ada integrasi sistem antara Korlantas Polri dan Pertamina maka efeknya nanti akan luar biasa,” tukasnya.
Dalam kesempatan yang sama, DPP Persaudaraan Aktivis dan Warga (Pandawa) Nusantara menilai bahwa revisi Perpres 191 harus mengatur secara rinci terkait pengalokasian dan pendistribusian BBM bersubsidi.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Pandawa Nusantara, Faisal Anwar mengungkapkan, bahwa hal itu penting agar subsidi BBM bisa tepat sasaran.
“Revisi ini harus memperjelas proses pengalokasian, pendistribusian, penjualan sampai harga di tingkat pengguna,” ungkapnya di acara FGD itu.
Faisal menyampaikan, pengalokasian itu juga termasuk nilai subsidi dan jumlah BBM yang diberikan subsidi.
“Harga adalah unsur yang harus dimasukan (ke dalam revisi Perpres 191), agar masyarakat mendapatkan kepastian harga,” katanya.
Selain itu, Faisal mengatakan, revisi Perpres 191 itu juga harus memperjelas atau memberikan kepastian siapa saja yang berhak menerima.
“Pemerintah harus berani mengambil kebijakan dan mengeksekusi program yang berpihak kepada rakyat, salah satunya adalah program subsidi yang tepat,” tuturnya.
Oleh karena itu, Faisal menambahkan, pihaknya berharap revisi Perpres 191 tersebut segera diterbitkan.
“Kita berharap pemerintah atau Presiden Jokowi segera menandatangani revisi Perpres 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM,” tandasnya.
Sekadar informasi, dalam FGD tersebut hadir sebagai pembicara yaitu Anggota Komite BPH Migas Yapit Sapta Putra, Region Manager Retail dan Sales Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Barat Sunardi dan Ketua DPP Bidang Energi Pandawa Nusantara Mamit Setiawan. (Joesvicar Iqbal/msb)