Setelah pulang dari RS kemarin saya ragu: apakah masih punya waktu untuk mengamati perkembangan wayang kulit seintensif ini.
Saya bangga: wayang kulit, tontotan utama saya masa kecil, mengalami kemajuan begitu pesat. Adegan perangnya juga sudah lebih jumpalitan. Pakai salto segala. Saya tidak tahu siapa duluan memulai adegan salto itu: Bayu atau Seno.
Tapi Ki Manteb memang masih top. Termasuk dalam adegan perang. Ki Manteb menyiapkan wayang khusus untuk adegan bunuh-membunuh. Ketika Durna dibunuh, misalnya, kepala wayangnya bisa terpisah sungguhan dengan badan wayang. Lalu kepala Durna itu dijadikan bal-balan sungguhan.
Demikian juga ketika Werkudara membunuh Dursasana. Tangan wayang Dursasana bisa dimutilasi. Demikian juga kakinya.
Tentu adegan seperti itu pernah ditampilkan dalam wujud yang lebih dramatis di wayang golek Sunda. Yakni oleh dalang Sunda pujaan saya: Asep Sunarya, almarhum.
Ups… Terlalu panjang saya menulis soal wayang. Siapa yang masih mau membacanya.
Baiklah saya pindah topik. Ke filsafat cancel culture yang banyak saya baca tadi.