Begitu banyaknya yang merasa mendapatkan manfaatnya. Saya pun tiba-tiba ingin agar istri saya menjalani DSA lagi. “Harus MRI dulu. Kalau tidak ada masalah tidak perlu DSA,” jawabnya.
Awalnya memang kontroversi. Akhirnya begitu banyak yang memanfaatkannya.
Sebelum itu Terawan telah menjadi dokter spesialis radiologi. Pendidikan spesialis itu ia tempuh di Surabaya. “Istri yang minta saya memperdalam ilmu kedokteran di Airlangga,” katanya.
Terawan tentu ingin mempertanggungjawabkan praktik DSA-nya secara ilmiah. Maka ia ambil S-3 –di Universitas Hasanuddin Makassar. Disertasi doktornya tentang DSA. Promotornya adalah Prof Irawan Yusuf. Guru Besar Unhas ini pernah menjabat dekan di sana. Prof Irawan meraih gelar doktor di Hiroshima University, Jepang.
Disertasi di Unhas itulah dokumen ilmiah yang Terawan persembahkan sebagai pertanggungjawaban ilmiah soal DSA.
Di keilmuan, Terawan sudah lengkap: dokter, spesialis, doktor. Ia kemudian juga diangkat menjadi kepala RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Terawan-lah kepala rumah sakit sejak masih berpangkat Brigjen, tetap di situ saat naik pangkat menjadi mayor jenderal, dan masih terus di situ ketika sudah berpangkat letnan jenderal.