indoposonline.id – Hingga kini, stunting masih menjadi masalah kesehatan pada anak Indonesia. Status gizi anak sangat penting dalam menentukan angka stunting. Di sisi lain, gizi yang diperoleh anak juga dipengaruhi oleh pola asuh yang di terapkan orangtua. Dr. dr. Fiastuti Witjaksono, spesialis Gizi Klinik, FKUI – RS Cipto Mangunkuso pun menjelaskan salah satu cara mencegah anak mengalami stunting. Dia menjelaskan, masa remaja adalah masa transisi dari anak ke dewasa dengan rentang usia 9 atau 10 tahun hingga 19 tahun.
Masa transisi atau masa remaja ini merupakan usia pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih cepat dibandingkan kelompok usia lain, kecuali satu tahun pertama kehidupannya.
Bila anak remaja perempuan tidak mendapatkan asupan gizi optimal akan berisiko melahirkan bayi BBLR atau stunting atau memiliki gangguan kesehatan. ”’Perubahan pola hidup, malas sarapan dan lebih senang jajan adalah masalah yang sering terjadi pada fase ini. Anak remaja juga lebih suka makan bersama temannya, mengonsumsi junk food yang masih diragukan nilai kesehatannya,” ujarnya dalam webinar “Kecukupan Gizi Remaja Kunci Utama Pencegahan Stunting” oleh YAICI, pada Jumat (9/4/2021).
Apalagi promosi produk makanan dan minuman ini membangun tren milenial yang tidak memperhatikan nilai kesehatan. Belum lagi, tingkat aktivitas fisik anak-anak cenderung lebih rendah. “Padahal remaja butuh nutrisi yang sesuai kebutuhan pertumbuhannya disertai olahraga dan istirahat yang cukup,” jelasnya.
Karakteristik perilaku konsumsi masyarakat Indonesia adalah senang makan manis, asin dan mengandung lemak. Asupan lemak rata-rata orang Indonesia memang hanya 32 persen, tidak lebih tinggi dibanding negara lain. Namun asupan lemak jenuhnya, 2 kali lipat dari negara lain dan ini adalah sumber dari segala penyakit.
Kementerian Kesehatan RI menyebutkan besaran masalah gizi remaja saat ini terlihat . Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan, 1 dari 4 remaja mengalami stunting, 1 dari 7 remaja mengalami kelebihan berat badan serta 50 persen remaja mengkonsumsi makanan manis lebih dai 1 kali sehari.
Plt. Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI Drg. Kartini Rustandi M.Kes yang hadir dalam kesempatan tersebut juga memaparkan, 1 dari 4 remaja mengalami stunting, 1 dari 7 remaja mengalami kelebihan berat badan serta 50 persen remaja mengkonsumsi makanan manis lebih dai 1 kali sehari. ”Ini menjadi masalah mengingat remaja adalah investasi negara, calon pemimpin. Karena itu Kementerian Kesehatan mengapresiasi edukasi-edukasi yang dilakukan oleh masyarakat,” tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua TP PKK Jawa Timur Arumi Bachsin mengungkapkan, penanganan stunting di wilayahnya adalah prioritas yang langsung dipimpin oleh Gubernur Jatim Khififah Indar Parawansa. ”Intervensi stunting memang harus saat dalam kandungan namun itu saja sudah telat, moment yang paling tepat adalah ketika remaja, sehingga mereka siap untuk menjadi ibu,” imbuhnya.
Dr.Erna Yulia Soefihara, Ketua Bidang VII PP Muslimat NU mengatakan sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan SDM unggul, PP Muslimat NU akan terus melakukan edukasi gizi untuk masyarakat. “Sejak 2018 telah dilakukan kegiatan sosialisasi kebeberapa wiayah di Indonesia untuk mensosialisasikan pentingnya pengetahuan gizi dan peruntukan kental manis. Selain itu juga dilakukan penelitian di beberapa wilayah untuk memperkuat edukasi dan upaya advokasi fakta kental manis diberbagai kalangan,” jelas Erna.
Sebelumnya YAICI bersama PP Muslimat NU telah melakukan penelitian mengenai konsumsi kental manis pada balita di beberapa wilayah di Indonesia. Penelitian dilakukan pada 2020 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT dan Maluku. Dari penelitian ditemukan 28,96 persen dari total responden mengatakan kental manis adalah susu pertumbuhan, dan sebanyak 16,97 persen ibu memberikan kental manis untuk anak setiap hari.
Dari hasil penelitian juga ditemukan sumber kesalahan persepsi ibu, dimana sebanyak 48 persen ibu mengakui mengetahui kental manis sebagai minuman untuk anak adalah dari media, baik TV, majalah/ koran dan juga sosial media dan 16,5 persen mengatakan informasi tersebut didapat dari tenaga kesehatan.
Temuan menarik lainnya adalah, kategori usia yang paling banyak mengkonsumsi kental manis adalah usia 3 – 4 tahun sebanyak 26,1 persen, menyusul anak usia 2 – 3 tahun sebanyak 23,9%. Sementara konsumsi kental manis oleh anak usia 1 – 2 tahun sebanyak 9,5 persen, usia 4-5 tahun sebanyak 15,8 persen dan 6,9 persen anak usia 5 tahun mengkonsumsi kental manis sebagai minuman sehari-hari.
Dilihat dari kecukupan gizi, 13,4 persen anak yang mengkonsumsi kental manis mengalami gizi buruk, 26,7 persen berada pada kategori gizi kurang dan 35,2 persen adalah anak dengan gizi lebih. ”Dari masih tingginya persentase ibu yang belum mengetahui penggunaan kental manis, terlihat bahwa memang informasi dan sosialisasi tentang produk kental manis ini belum merata, bahkan di ibukota sekalipun,” jelas Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat. (msb)