Robert Lai, teman saya di Singapura itu menyimpan abu orang tuanya di vihara Buddha dekat rumahnya. Istri Robert, menyimpan abu orang tuanyi di gereja. Di hari Cing Bing seperti ini, Robert ke vihara, Dorothy ke gereja.
Itu sebelum pandemi. Kali ini mereka sembahyang Cing Bing dari rumah. Rumah Robert yang sekarang ini pun dulunya juga kuburan Tionghoa. Mungkin kuburan terbesar.
Proses penutupan kuburan ini dilakukan di awal pemerintahan Lee Kuan Yew. Awalnya tidak boleh lagi ada orang dimakamkan di situ. Langkah berikutnya, family orang yang dimakamkan di situ harus membongkar kuburan leluhur mereka –tulangnya dibakar, abunya disimpan. Sampai batas waktu tertentu pemerintah membongkar kuburan yang tanpa keluarga.
Sejak itu tidak ada lagi kuburan Tionghoa di Singapura. Di areal itu lantas didirikan apartemen pencakar langit dalam jumlah ratusan gedung. Robert tinggal di salah satunya.
Kuburan orang Islam pun ditata ulang di Singapura. Itu untuk menghemat tanah. Caranya: kuburan delapan turunan (generasi) harus dijadikan satu lubang. Satu ”bani” satu kuburan. Kuburan delapan generasi itu digali. Tulang-tulangnya dijadikan satu. Dibungkus kain putih. Diikat. Disembahyangkan. Dibacakan doa. Lalu dikubur di satu lubang. Lengkap dengan riwayat keluarga tersebut.