Di tengah-tengah penguasaan bentuk yang sudah matang, dia leluasa menarasikan keindahan atau sebaliknya kegundahan di balik sosok-sosok patungnya. Setelah menemukan “kelenturan” pada material logam, kini ia sesungguhnya lebih berkeinginan menyuarakan kondisi kebatinan dalam dirinya.
Pada pameran bertajuk “Road to Beijing” ini, dipamerkan 9 karya yang dikerjakannya dalam periode 2010-2021 dari “Sleepy Leopard II” (2010) sampai “Luh III” (2021). Seekor macan tutul yang tertidur pulas di atas sebongkah batu, menjadi metafora betapa dalam kediaman manusia tersimpan hasrat pemburu yang tersamarkan. Sebaliknya, pembekuan gerak angin pada karya “Luh III” justru melahirkan impresi keindahan tiada tara. Logam yang kaku dan beku, seolah bergerak dan perlahan mengespresikan kelembutan jiwa perempuan.
Di tengah-tengah terkaman pandemi, Nyoman Nuarta melahirkan karya indah yang lain seperti “Rush Hour V” (2021), di mana sekelompok orang sedang bergegas menggenjot sepeda sambil bersenda gurau. Ada kegembiraan dalam kebersamaan, ada adu cepat dalam rombongan di jalanan. “Bukankah kita adalah serombongan orang yang sedang bergegas juga di jalanan? Pada umumnya dimaknai sebagai kompetisi, tetapi kadang kita lupa bahwa kalau berombongan semua aktivitas jadi lebih ringan, bukan?” kata Nyoman Nuarta.