indoposonline.id – Dua oknum penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Kepulauan Riau (Kepri) dilaporkan ke Biro Pengamanan Internal (Paminal) Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri, Senin (31/5). Dua penyidik ini dilaporkan terkait dugaan penyembunyian barang bukti kasus penggelapan besi tua.
Penyidik Briptu JS dan Ipda RL dilaporkan oleh Dedy Supriadi dan Dwi Buddy Santoso melalui kuasa hukumnya, Mahatma Mahardhika. Dua pelapor mengaku menjadi korban praktik mafia hukum.
Pengadilan Negeri (PN) Batam diduga telah merekayasa pidana penggelapan sebagaimana dimaksud Pasal 372 KUHP atas laporan Minggu Sumarsono, kuasa hukum Kasidi alias Ahok, seorang pedagang besi tua di Batam.
“Saya ingin pengaduan ini diproses sesuai ketentuan hukum untuk mencegah terjadinya kembali peradilan sesat yang menelan korban orang-orang yang tidak bersalah, khususnya di wilayah hukum Kepulauan Riau dan Batam. Cukup saya dan kawan-kawan yang menjadi korban praktik mafia hukum yang dilakukan secara sistemik,” ungkap Dedy seusai menyampaikan laporan di Mabes Polri.
Menurut Dedy, kejadian ini berawal saat Direktur PT Karya Sumber Daya, Kasidi alias Ahok, mengkonstruksikan laporan yang diduga palsu telah dirugikan sebesar Rp3,6 miliar akibat Dedy Supriadi dan Dwi Buddy Santoso menggelapkan barang berupa besi scrap seberat 125 ton dan tembaga 60 ton. Ahok mengaku barang miliknya itu dibeli dari Mohamad Jasa bin Abdullah, Direktur Jasid Shipyard (M) Sdn, Bhd.
Kenyataannya, kata Dedy, besi scrap seberat 125 ton dan tembaga 60 ton bukanlah milik Kasidi alias Ahok, melainkan milik Mohamad Jasa bin Abdullah yang berada di Gudang PT Ecogreen Oleochemicals, yang disewa oleh Mohamad Jasa bin Abdullah. Ini berdasarkan bukti berupa dokumen Contract Agreement No. 001/PTEO/2019 tertanggal 7 Januari 2019 yang telah diserahkan kepada penyidik pada saat pemeriksaan.
Namun, diduga penyidik Briptu JS tidak memasukkan keterangan mengenai fakta tersebut ke dalam BAP. Selain itu, kata Dedy, bukti berupa dokumen Contract Agreement No. 001/PTEO/2019 tertanggal 7 Januari 2019 dihilangkan dalam berkas perkara.
“Besi scrap crane seberat 125 ton dan tembaga 60 ton bukanlah miik Kasidi alias Ahok. Maka itu sebabnya tidak pernah disita penyidik untuk djadikan barang bukti dalam perkara guna menguatkan tindak pidana yang dipersangkakan, dan tidak ada kaitannya dengan saya,” klaimnya.
Pada 26 Agustus 2018, Ahok telah menandatangani Sales Agrement Nomor: 035/KSD-BTM/VIII/2018 dengan Jasid Shipyard & Engineering, dalam hal ini Mohamad Jasa bin Abdullah, tentang pembelian scrap seberat 3.688 ton dengan pola timbang bayar. Artinya, setelah ditimbang baru dilakukan pembayaran.
Dalam perjalanan, pada 23 Mei 2019 Ahok mengklaim kepada Mohamad Jasa bin Abdullah atas permasalahan besi scrap seberat 125 ton dan tembaga 60 ton. “Mohamad Jasa bin Abdullah berhak menjual besi 125 ton dan 60 ton tembaga kepada pihak lain dalam hal ini dengan memerintahan menjual kepada saya dan hal ini bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum, sekalipun Mohamad Jasa bin Abdullah sudah terikat jual beli dengan Kasidi alias Ahok karena perikatan jual beli yang ditandatangani untuk barang yang berbeda,” tambahnya.
Dedy juga menduga ponsel yang berisi percakapan jual beli besi scrap 100 ton dengan harga Rp4.500 per kg tidak disita oleh Penyidik. “Barang bukti berupa HP merk Samsung J3 Pro milik Saw Tun alias Alam tersebut disembunyikan oleh penyidik pembantu Jefri Simanjuntak. Perbuatan ini diduga dilakukan untuk mendukung rekayasa dan konstruksi persangkaan pidana penggelapan yang tengah dibangun,” duga Dedy.
Menurut Dedy, penyidik mengakui kepada Wadir Reskrimum Polda Kepri AKBP Ruslan Abdul Rasyid bahwa mereka lalai tidak memasukkan handphone sebagai barang bukti dalam proses penyelidikan LP-B/34/V/2019/SPKT-Kepri tertanggal 2 Mei 2019.
“Maka unsur Pasal 372 KUHP dan/atau Pasal 363 KUHP tidak akan terbukti. Dan penambahan Pasal 363 KUHP dirumuskan di ruang kerja mantan Waka Polda Kepri Brigjen Yan Fitri tanpa melalui mekanisme gelar perkara,” tutur Mahatma. (msb/ydh)