indoposonline.id – Indonesia adalah Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak. Kendati demikian, masih saja ditemukan sejumlah permasalahan kondisi peradilan anak di Indonesia.
Permasalahan itu di antaranya, restorative justice belum dilaksanakan secara optimal, hak anak bermasalah dengan hukum (ABH) terutama hak korban masih sering terabaikan dan sumber daya manusia (SDM) yang belum memadai (kuantitas maupun kualitas).
“Kemudian sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum memadai dan kurang koordinasi dalam penanganan hak anak bermasalah dengan hukum (ABH),” ungkap Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Fungsional Kejaksaan RI, Judhy Sutoto dalam keterangannya, Sabtu (8/5).
Menurutnya, kondisi ini merupakan tantangan bersama untuk mampu mengubahnya menjadi kondisi yang diinginkan. “Oleh karenanya, diperlukan Aparat Penegak Hukum (APH) yang tidak hanya kompeten dan cakap dalam menangani Anak Bermasalah dengan Hukum (ABH), tetapi juga APH yang memiliki kemampuan untuk membangun komunikasi, kerjasama, dan sinergis,” ujar Judhy.
Sekadar informasi, Indonesia adalah Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak. Konvensi tersebut telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990; selanjutnya telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak; dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan, bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Sementara itu yang dimaksud Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA).
“Sebagai sebuah sistem, maka sistem peradilan pidana anak, merupakan sebuah kesatuan proses terdiri atas beberapa subsistem dalam sistem peradilan pidana (penyidik, penuntut umum, hakim, penasihat hukum), termasuk subsistem pekerja sosial, pembimbing pemasyarakatan, serta anak; yang terhubung bersama untuk mencapai suatu tujuan. Setiap elemen (subsistem) akan saling terhubung secara sinergis, agar mampu mendorong kelancaran bekerjanya sistem,” jelas Judhy. (ydh)