Fatia adalah lulusan sejarah sosial Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Lalu, kuliah lagi di Belanda. Yakni, di studi pembangunan Institute of Social Studies, Den Haag.
Fatia ini pemberani. Luar biasa. Keyakinannyi begitu kuat: Ita dibunuh oleh sistem politik. Bukan dibunuh Otong, pembantu di rumah itu. Otong hanya dikorbankan. Ita, kata Fatia, juga bukan remaja yang punya kelainan seks seperti yang dikatakan aparat.
Fatia sendiri menerima teror bertubi-tubi. Tentu. Ancaman lewat telepon sudah sering. Tapi, Fatia selalu menjawab dengan tegas: tidak takut. Juga, tidak akan berhenti membela korban kerusuhan Mei.
Anak Fatia yang masih TK juga hampir diculik oknum. Untung, guru TK-nya langsung menarik anak itu. Fatia akhirnya mengirim anak itu ke rumah ibunyi.
Ancaman tidak hanya datang dari orang tidak dikenal. Selepas melapor ke Presiden B.J. Habibie, Fatia dipisahkan dari tokoh-tokoh wanita yang sama-sama menghadap presiden. Lalu, diajak ke ruang terpisah di istana. Di situ ada tiga jenderal, termasuk jenderal polisi. “Di tengah-tengah jenderal itulah, saya dituding dan diancam oleh Jenderal Sintong Panjaitan. Saya dikatakan sebagai orang yang menjelek-jelekkan Indonesia di dunia internasional,” ujar Fatia.