Ia juga menyadari setiap pergantian kekuasaan selalu ada korban. Besar maupun kecil. Apalagi, Mei 98 adalah pergantian dari kekuasaan mutlak yang panjang.
Maka, Harjanto memilih mencari pengakuan dari hati nurani masyarakat saja. Lewat rujak pare dan sambal jombrangnya itu. (*)