Oleh : Dahlan Iskan
AWALNYA saya tidak percaya kalau itu tulisannya sendiri. Kok tumben: tidak setuju dengan rencana pemerintah. Yang akan memperpanjang PPKM –Anda tahu singkatan apa itu.
Saya pun menanyakan ke teman baik yang juga Jokower garis tebal. “Benar, itu tulisan beliau. Ada di Facebook pribadi beliau,” katanya.
Lalu saya monitor grup lain. Yang juga garis tebal. Ternyata ada juga yang sangat prihatin dengan rencana perpanjangan PPKM.
Saya pun menjadi ikut di dalamnya.
Padahal saya dulu dikenal ikut kelompok yang menginginkan lockdown keras. Di bulan April 2020.
Kalau lockdown dilakukan semua keluarga miskin mendapat bansos. Nilainya Rp 1,5 juta/bulan. Selama 3 bulan. Maka diperlukan anggaran Rp 400 triliun. Toh yang menikmati rakyat miskin –kalau bansos itu sampai kepada mereka secara utuh. Angka itu juga ikut menggerakkan ekonomi nasional.
Yang terutama, Covid-19 pun bisa terkendali. Pun sebelum sempat berkembang ke varian-varian baru.
Tapi angka Rp 400 triliun itu memang besar sekali. Dianggap mengerikan. Lalu ide lockdown pun terpinggirkan. Yang diputuskan adalah: cukup mengurangi sedikit gerak masyarakat. Saya lupa istilah pertama yang dipakai.
Ide lockdown itu sendiri tidak orisinal. Saya, dan mereka yang se-ide, hanya menjiplak dari Tiongkok. Itulah yang dilakukan di Wuhan, kota besar yang berpenduduk 13 juta jiwa. Wuhan dikunci total. Kata ”total” di situ punya makna khusus. Bukan hanya orang luar yang tidak boleh masuk Wuhan. Atau hanya orang Wuhan yang tidak boleh keluar. Pun orang di satu kecamatan di kota Wuhan sendiri tidak bisa ke kecamatan lain. Orang satu kelurahan tidak boleh ke kelurahan lain. Orang satu RT tidak boleh ke RT lain. Orang satu blok perumahan tidak boleh keluar dari kompleks perumahan mereka.
Waktu itu belum ada teknologi tracing. Belum ada Apps monitoring. Belum ada sistem digital pengaturan logistik. Alat utama mereka hanya tekad yang kuat. Tegas. Pejabat tingginya banyak yang dipecat.
Langkah Wuhan itu diikuti kabupaten/kota lain di provinsi Hubei, yang beribu kota di Wuhan.
Diikuti pula provinsi lainnya.
Waktu itu kita masih punya uang. Sikap kita terbelah. Ada yang memberikan simpati ke Wuhan. Ada pula yang meledek –ups teganya.
Dalam tiga bulan Covid terkendali.
Ternyata wabah itu akhirnya masuk Indonesia. Padahal kita telanjur pede Covid tidak akan bisa masuk Indonesia. Kita menganggapnya remeh. Pun dr Terawan Putranto yang menjabat menteri kesehatan saat itu. Pun saya sendiri begitu.
Tapi begitu Covid kian marak, saya langsung menganggapnya bahaya. Begitu juga umumnya para dokter. Maka beberapa orang pun mengusulkan lockdown. Termasuk saya.
Waktu itu kita masih punya uang. Rp 400 triliun memang besar tapi kita punya. Setidaknya masih mudah mencari pinjaman.
Tapi angka Rp 400 triliun tersebut, saya akui, memang mengerikan.
Maka saya tidak ngomel ketika kita tidak melakukan lockdown. Apalagi masyarakat menyambut hangat putusan pemerintah saat itu. Pemerintah dipuji sebagai mampu memahami perasaan rakyat.
Belakangan, bahkan, mulai ada yang berbangga: strategi kitalah yang benar. Saya pun sempat mengakui bahwa kita memang hebat.
Tentu kini tidak ada lagi yang berani mengatakan strategi kita yang benar. Angka penderita Covid kita 54.000 di satu hari. Senin lalu –diumumkan Selasa. Brazil, yang sudah beberapa hari lebih baik dari kita, hari itu 57.000.
Tentu sekarang saya tidak ikut setuju kalau ada yang mengusulkan lockdown. Situasi sudah berubah. Orang sudah lelah –yang pro maupun yang kontra pemerintah. Uang juga sudah menipis –untuk tidak bilang sudah kering.
Ternyata biaya mengatasi Covid kita, sampai minggu lalu, sudah mencapai Rp 1.050 triliun. Anehnya angka itu tidak terasa mengerikan. Terutama bagi yang mendapat ceperan dari proyek itu.
Kini saya mendukung apa pun yang akan dilakukan pemerintah. Hanya diterapkan PPKM pun saya dukung. Pun jikalau PPKM hanya dilakukan seadanya, misalnya 25 persen dari seharusnya.
Demikian juga, misalkan, bulan depan PPKM diakhiri. Lalu dimunculkan istilah yang baru lagi. Saya pun tidak akan mengeluh. Saya menyadari: mengeluh dan resah hanya merugikan diri sendiri.
Saya masih cukup terhibur melihat banyak baliho Mbak Puan di berbagai sudut kota Surabaya. Pertanda Mbak Puan tidak sedang ghosting seperti yang digunjingkan di medsos.
Konsultan baliho itu cukup cerdas. Setidaknya bisa memahami perasaan rakyat. Tidak banyak kata di situ. Tidak banyak ajakan. Tidak banyak slogan politik. “Jaga Iman dan jaga Imun”. Hanya itu yang diserukan. Tidak terlihat ada maksud agar ratingnya sebagai calon presiden sedikit lebih baik dari angka sepatu anak balita.
Tentu sang konsultan tahu: rakyat lagi muak politik. Pun di Malaysia. Di sana video yang menjerit dan memaki politisi sangat viral.
Di sini sikap anti politik itu cukup diwakili film musikal berjudul DPR –meski orang seperti saya sebenarnya sangat menunggu Iwan Fals atau Slank.
Film musikal dari kelompok Jovial da Lopez ini cocok dengan suasana batin sekarang: mengkritik sambil menghibur. Toh nyatanya masyarakat memang lebih peduli acara gosip bintang film daripada uang Rp 1.000 triliun.
Jovial da Lopez lahir di San Francisco. Umur 31 tahun. Ia sarjana MIPA Universitas Indonesia. Ayahnya Flores, ibunya Manado. Jovial da Lopez yang menjadi sutradara musikal itu. Ia juga YouTuber terkenal dengan tema parodi. Ia pernah lama di Amerika, Norwegia, India, Denmark, dan negara asing lainnya.
Tapi saya kembali ingat pada tokoh-tokoh yang selama ini berada di garis tebal. Mengapa bisa menyuarakan medsos di seberang ide pemerintah. Itu menimbulkan pertanyaan: ada apa.
Tentu tidak ada apa-apa. Sepanjang perkawinan Lesti masih ditunda. Atau Ardi Bakrie dan Nia Ramadhani masih berstatus suami-istri. (Dahlan Iskan)