IPOL.ID – Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengusut dugaan korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kali ini, penyidik korps adhyaksa memeriksa lima saksi di Gedung Tindak Pidana Khusus Kejagung, Jumat (20/9).
“Pemeriksaan saksi untuk kepentingan penyidikan guna menemukan fakta Hukum tentang tindak pidana korupsi di LPEI,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Jumat (20/8) malam.
Dari kelima saksi yang diperiksa, tiga orang di antaranya dari pihak LPEI. Yakni, IS selaku Komite Pembiayaan IV, SYR selaku Relationship Manager dan DSD selaku Kepala Divisi ARD pada LPEI. “Diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada debitur,” kata Leonard.
Sedangkan dua saksi lainnya yakni, KJPP PZ dan Rekan Cabang Yogyakarta, KAP W dan Rekan selaku Akuntan Publik pada Kantor Akuntan Publik W dan Rekan. “Diperiksa terkait penilaian aset dan penilaian laporan keuangan debitur LPEI,” jelas Leonard.
Penyidikan kasus penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021.
Adapun kasus ini bermula dari pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada sembilan debitur. Yaitu, Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.
Namun pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai laporan sistem informasi manajemen resiko diduga dalam posisi colektibility 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019.
LPEI didalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor tersebut diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik. Sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39%.
“Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian dikarenakan adanya pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN),” kata Leonard.
Selanjutnya berdasarkan statement dilaporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN untuk meng-cover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan yang disebabkan oleh kesembilan debitur tersebut.
“Salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah S, Dirut dari tiga perusahaan Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia,” paparnya.
Namunctim pengusul dari LPEI yang terdiri dari Kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis, dan Komite Pembiayaan diduga tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.
“Akibatnya menyebabkan debitur, yakni Group Wallet yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dikategorikan Colectibity 5 (macet), sehingga gagal bayar sebesar Rp683,6 miliar yang terdiri dari nilai pokok Rp576 miliar ditambah denda dan bunga Rp107,6 miliar,” pungkas Leonard. (ydh)