IPOL.ID – Pilpres mendatang diperkirakan masih akan penuh kampanye dengan kebencian.
Demikian disampaikan Prof. Didik J. Rachbini dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (3/9)
Menurut Didik, etika politik di Indonesia tidak diperhatikan, dengan penggunaan buzzer politik yang jahat sekali men-downgrade lawan politik.
“Contoh kasus efektivitas buzzer adalah kasus KPK dengan memunculkan isu Taliban dan non-Taliban di KPK ketika undang-undang KPK hendak diamandemen. Isu ini berhasil, rakyat dan mahasiswa gagal mempertahankan KPK dalam wujud yang asli,” katanya.
Ia juga menyinggung fenomena pencapresan presiden di Indonesia sudah mulai terjadi secara terselubung dengan pemasangan baliho-baliho tokoh dan rencana sistematis di media sosial.
“Sudah ada tokoh-tokoh yang popularitasnya tinggi sehingga upaya bersaing dalam pencapresan ini memang harus melihat peluang keberhasilan dari survei popularitas politik,” jelas Didik.
Menurut Rektor Universitas Paramadina ini dari banyak lembaga survei beberapa saja yang kredibel dan sisanya melakukan akrobat. Menurut Didik, lembaga survei yang independen biasanya akan menghasilkan tradisi akademik yang baik.
Ia juga menyatakan bahwa hasil survei harus memperhatikan waktu karena setelah 8 bulan hasil survei bisa dinyatakan tidak valid. “Berbeda dengan dulu Jokowi dan Prabowo yang sejak awal di 2013 telah mempunyai tingkat popularitas yang konsisten tinggi, bahkan Prabowo sebelum Jokowi muncul punya popularitas yang sangat tinggi,” terang Didik.
Direktur LP3ES, Fajar Nursahid mengungkapkan bahwa variabel downgrade lawan politik harus menjadi perhatian serius oleh para politikus.
“Itu misalnya terjadi pada figure Anies Baswedan walaupun masih di 3 besar papan atas terpopuler,” ujar dia.
Fajar memandang bahwa jalan menuju pencapresan itu tidaklah semulus seperti yang diperkirakan. Belum lagi bagaimana peran-peran cybertroops kemudian bisa mendegradasi lawan politik.
Ia juga mengungkap fenomena para figur politik yang jauh dari partai politik pengusungnya. Mengambil contoh dahulu figure Jokowi dan SBY jauh melampaui popularitas partai pengusungnya.
“Saat ini figur yang diharapkan menjadi centrum pengaruh dari partai politik untuk meraih voters ternyata belum cukup kuat untuk mengangkat popularitas pencalonan dirinya.”
Fajar mencontohkan kasus pada Puan Maharani yang membuat strategi baliho masif untuk mendongkrak daya pikat bagi voters, sementara dalam realitasnya Ganjar Pranowo yang ternyata bersanding di figure terpopuler papan atas bersama Anies Baswedan.
“Hal itu menjadi menarik untuk dikaji mengapa orang-orang yang punya kendali kuat di partai politik ternyata tidak cukup punya favorability ketimbang mereka yang di luar centrum partai politik seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo,”. (rob)