Coba saja. Negara mana yang mau menyusui terus-menerus tanpa tahu kapan akan berakhir.
Afghanistan praktis tidak punya pendapatan untuk negara. Tidak ada industri. Tidak ada pelabuhan. Tidak ada barang yang bisa diekspor –kecuali opium. Orang pintarnya pun banyak yang mengungsi.
Bayangkan, pendapatan dari pajaknya didominasi dari pajak opium. Mencapai 10 persen. Persentase itu kelihatan besar karena keseluruhan penerimaan pajaknya memang sangat kecil.
Saya pernah ke pusat tanaman opium di segitiga emas Thailand-Burma. Bersama Tomy Winata. Pakai pesawat khusus. Kami ingin melihat sukses Thailand mengubah pusat opium itu menjadi perkebunan buah almond. Untuk diekspor. (Baca Disway: Di Mana Pohon Besar).
Kisah sukses itu terdengar sampai Afghanistan. Ingin meniru. Tim dari Thailand sudah diundang ke pusat opium di Afghanistan. Sudah merancang kebun apa saja selain opium. Sebagai percontohannya. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan program itu.
Tentu sekarang ini muncul banyak problem berat di Afghanistan. Siapa lagi yang mau membantu dana –ketika pemerintah justru di tangan Taliban. Yang mengakui saja baru dua: Tiongkok dan Rusia. Yang lain masih tunggu apakah janji Taliban dipenuhi: lebih terbuka dan moderat.