Salah satu masalah berat di sana adalah: bagaimana cara mengakomodasikan 160.000 tentara pejuang Taliban ke dalam sistem ketentaraan nasional. Itu terjadi di mana pun pasca revolusi.
Di Indonesia, di awal kemerdekaan dulu, begitu sulit menampung tentara pejuang kemerdekaan seperti itu. Ada syarat umur. Pendidikan. Jenjang latihan.
Tidak semua tentara pejuang memenuhi syarat masuk tentara reguler. Muncullah kisah seperti tecermin dalam Jenderal Nagabonar. Lahirlah istilah eks KNIL dan eks tentara pejuang seperti PETA. Saling tuding: Peta menuding KNIL pengkhianat. KNIL menuding PETA tentara amatir.
Kesulitan lain: bahan bakar. Tapi kekurangan BBM mungkin bisa dibantu Iran. Demikian juga kekurangan listrik. Selama ini listrik Afghanistan dicukupi dari Iran. Atau dari Tajikistan dan Uzbekistan. Ada transmisi listrik antar-negara.
Kemampuan Afghanistan memproduksi listrik memang hanya 600 MW. Hanya sama dengan satu provinsi Kalsel. Di sana memang besar sekali potensi listrik tenaga air. Tapi baru ada beberapa PLTA skala kecil.