IPOL.ID – Pemda DKI Jakarta melalui Wakil Gubernur, Ahmad Riza Patria mengatakan, prinsip penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta yaitu terbaik bagi buruh, pengusaha dan masyarakat. Dari tiga subyek (buruh, pengusaha dan masyarakat), yang dapat terukur rasional yaitu terbaik bagi buruh dan pengusaha.
Komunikolog Indonesia, Emrus Sihombing memiliki pandangan tersendiri akan hal tersebut bahwa sebagai pemimpin yang membahagiakan warganya di sektor buruh dan pengusaha, Anies harus membuat terobosan baru dengan mengalokasikan sebagian APBD DKI Jakarta kepada buruh.
Sebagai contoh memudahkan perhitungan, kemampuan suatu perusahaan membayar upah hanya Rp 3 juta perbulan. Untuk UMP mencapai Rp 5 juta, tidak ada salahnya APBD DKI Jakarta dialokasikan sebanyak Rp 2 juta atau lebih agar semua buruh di Jakarta bahagia. “Lebih radikal positif, jika Pemda DKI Jakarta memberikan insentif parmanen bagi semua buruh di DKI Jakarta minimal Rp 2,5 juta atau lebih perbulan,” tuturnya, Selasa (28/12).
Pertanyaannya apakah itu bisa diwujudkan dari APBD DKI? “Menurut hemat saya, sangat bisa. Ini persoalan kemauan, komitmen atas janji politik ketika kampanye dan keberpihakan kepada buruh dan pengusaha yang sedang menghadapi kelesuan ekonomi akibat Covid-19. Lakukan saja secara tegas dan kongkrit pemotongan fasilitas dan pendapatan Gubernur, Wagub, Sekretaris Wilayah Daerah, semua Kepala Dinas serta TKD (tunjangan kinerja daerah) para ASN di Jakarta, yang sangat luar biasa dibanding dengan kepala daerah dan ASN di provinsi lain,” ucapnya.
“Bahkan saya berpendapat, buruh harus lebih sejahtera dari aspek ekonomi daripada para pejabat dan ASN DKI Jakarta. Mengapa? melalui keringat para buruh, bukankah perusahaan membayar berbagai pajak dan perijinan sesuai UU kepada Pemda DKI Jakarta sebagai sumber pendapatan daerah,” kata Emrus.
Dia katakan, pejabat dan ASN hanya berfungsi dan bertugas memberi layanan publik kepada masyarakat, termasuk kepada buruh. Buruh menghasilkan uang untuk APBD DKI Jakarta, pejabat dan ASN menggunakan dana yang sebagian dihasilkan dari keringat buruh. Buruh bekerja dengan keringat sungguhan, sedangkan ASN bekerja tanpa keringat karena di ruang ber-AC.
Untuk itu, dalam rangka mewujudkan rasa keadilan dan kesejahteraan ekonomi bagi buruh dan pengusaha. Jika Pemda DKI Jakarta masih sulit berpihak kepada buruh dan pengusaha daripada kepada pejabat dan ASN Pemda DKI Jakarta.
“Setidaknya gubernur memberi perlakukan yang sama dari segi gaji/upah antara ASN dan buruh sesuai golongan dan masa kerja di Jakarta. ASN dan buruh sama-sama berkarya untuk tujuan yang sama yaitu maju kotanya (Jakarta) dan sejahtera warganya (buruh dan ASN diperlakukan sebanding dari segi penghasilan),” tukasnya.
Yang terbaik untuk masyarakat sangat sulit menentukannya karena subyektif dan relatif. Variabel terbaik bagi masyarakat sebaiknya bukan pertimbangan utama, atau dikeluarkan saja dari penentuan UMP Jakarta. “Sebab, terbaik bagi buruh dan pengusaha, menurut hemat saya, sudah termasuk terbaik bagi masyarakat”.
Menurutnya, sangat ideal pendapat wagub DKI di atas. Itulah tujuan pemimpin mensejahterakan warganya. Pemprov DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan Anies Rasyid Baswedan mutlak mewujudkan kotanya (Jakarta) maju dan bahagia warganya. Itulah salah satu janji politiknya ketika kampanye Pilkada-2017 dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (termasuk buruh dan pengusaha), utamanya bidang ekonomi.
Oleh karena itu, dalam penentuan UMP Jakarta, Anies tidak boleh hanya mempertemukan, memediasi, mendengar dan kemudian memutuskan UMP Jakarta atas dasar kemampuan perusahaan dan usulan dari buruh. “Selama ini, menurut hemat saya, penentuan UMP Jakarta acapkali dasar utama yang digunakan dari aspek cash flow atau kemampuan finansial perusahan, biaya hidup dan sedikit peningkatan kesejahteraan buruh,” ujarnya.
Anies sebagai gubernur DKI dan pemimpin yang membahagiakan masyarakat Jakarta, dia harus melihat dan mem-validasi kemampuan perusahaan serta menyimak sungguh-sungguh keinginan buruh dalam bidang pendapatan.
Sementara, kemampuan perusahaan sangat varian sehingga tidak boleh dilakukan generalisasi penentuan UMP. Ada perusahaan mampu membayar UMP, bahkan di atas itu. Sebaliknya, ada yang belum kuat membayar batas UMP karena kelesuan ekonomi sebagai dampak Covid-19. (ibl)