IPOL.ID – Munculnya aksi ojek online atau ojol yang menagih janji ke Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang menjanjikan payung bagi ojol mendapatkan perhatian dari pengamat ojol, YS Widada.
Dia mengatakan, status ojol dalam konteks hubungan industrial, sangat lemah. Widada menilai, nasib ojol ini lebih buruk dibanding buruh pabrik.
“Buruh pabrik masih dilindungi oleh ‘Tri Partit’, ditambah ada jaminan hak-hak buruh lainnya,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (6/12).
Sedangkan driver ojol, lanjut dia, tidak punya atau mendapat hak apa-apa selain biaya angkutan yang mereka terima. Itupun dipotong 20 persen oleh perusahaan aplikator.
Widada yang juga penasehat Patra Indonesia, komunitas driver ojol menjelaskan keberadaan ojol sangat rentan. Mereka harus bekerja tanpa hak suara misal dalam penentuan tarif, dalam penentuan besaran potongan.
Masih kata dia, ojol juga bekerja tanpa perlindungan. Tidak ada aturan pembatasan jam kerja, tidak ada hak cuti, tidak ada asuransi kesehatan, tidak ada asuransi ketenagakerjaan. Bahkan tanpa THR di hari raya.
Dia pun meminta kepada pemerintah dan DPR untuk bersama membahas payung hukum yang melindungi para driver ojol.
“Silahkan dibahas antara Pemerintah dengan pihak DPR jika itu menyangkut Undang-Undang. Tapi hendaknya dibahas dulu lintas sektoral/Kementerian untuk hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak ojol sebagai pekerja,” lanjutnya.
Widada juga mencaatat adanya ketidakjelasan terminologi dalah penyebutan ojol. Dalam hubungan perusahaan dengan pekerja, ojol ini disebut sebagai mitra. Bukan sebagai pekerja.
“Sebenarnya sebutan mitra ini mengandung pengertian yang bagus. Mitra itu mencerminkan adanya kesetaraan, adanya mutual-partnership, adanya mutual benefit. Tetapi di lapangan, yang terjadi itu justru hubungan eksploitatif oleh perusahaan aplikator.
Dalam aksi demo menagih janji ini, para komunitas juga menyampaikan orasinya. Terutama berisi keluhan, curhatan, bahkan ada juga yang menumpahkan kekesalannya. “Kami juga menyampaikan kritik kepada kinerja Menteri Perhubungan.
Sebelumnya pada Rabu (5/1) kemarin, 5.000 driver ojek online melakukan aksi unjuk rasa, menagih janji ke Menteri Perhubungan yang sejak tiga tahun lalu menjanjikan payung hukum terhadap ojol.
Aksi menagih janji yang diprakarsai Paguyuban Transportasi Indonesia (Patra Indonesia) dan Laskar Malari ini berlangsung di depan Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta Pusat.
Aksi ini diikuti ojol yang berasal dari berbagai daerah seperti Lampung, Bali, Demak, Tegal, Karawang, Bandung, Banten dan Jabodetabek. Mereka berasal dari berbagai aplikator, mulai dari driver Gojek, Grab, Shoppee dan lainnya.
Sebagian besar para driver ini datang ke lokasi tidak menggunakan seragam perusahaan operator-aplikator, melainkan pada menggukana atribut komunitas mereka.
“Perjuangan Patra Indonesia bersama puluhan komunitas ojol dari berbagai daerah adalah perjuangan moral,” kata Anton, Ketua Umum Patra Indonesia dalam orasinya.
Anton menjelaskan, sebenarnya upaya menagih janji payung hukum ini sudah sering dilakukan. Baik melalui aksi unjuk rasa, melalui surat, bahkan menghadap langsung ke para pemangku kepentingan. Tapi kita tidak tahu apa alasannya, sehingga sampai hari ini ojol dibiarkan menjadi sarana angkutan liar.
“Tidak ada aturan yang melindungi. Sehingga ojol bisa disebut angkutan yatim-piatu, atau malah bisa dibilang angkutan liar, ” paparnya di tengah massa unjuk rasa. (rob)