IPOL.ID – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) menjadi Undang-Undang (UU) pad Selasa (18/1).
“Pengesahan RUU IKN ini terlalu buru buru, dan kurang kajian atas lokasi lahan ibu kota negara baru tersebut,” kata Direktur Center Budget of Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/1).
Dia menyarankan, sebaiknya panitia khusus RUU IKN segera mengundang ahli geologi untuk mengetahui potensi bahaya lokasi IKN. Diketahui, IKN direncanakan akan berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
“Ketika IKN tetap berada di Penajam Paser Utara, dan Kutai Kertanegara, maka bahaya yang dihadapi pemerintah bukan ancaman peluru kendali dari negara asing atau teroris. Tetapi lahan gambut, dan lahan yang berisi batubara yang berpotensial menghancurkan aset gedung-gedung perkantoran pemerintah,” ungkapnya.
Perlu diketahui, lahan gambut mempunyai kencenderungan menimbulkan proses pembakaran spontan akibat adanya aksidasi. “Jadi tidak perlu adanya pembakaran secara sengaja, hanya dengan adanya cuaca panas ekstrim akibat dampak elnino, lahan gambut bisa menjadi api atau asap yang menganggu kinerja pemerintah,” ungkap Uchok.
Kemudian di IKN akan dibangun gedung-gedung pemerintah bertingkat dengan mengunakan pondasi dalam seperti tiang pancang. Uchok khawatir jika pondasi tiang pancang pada kedalaman tertentu menyentuh sumber daya batu bara, maka akan terjadi proses oksidasi yang menyebabkan kerusakan pada beton dan besi tiang pancang.
“Ketika tiang pancang gedung kantoran pemerintah bertingkat mengalami kerusakan, maka tinggal tunggu waktu saja, bangunan gedung pemerintah tersebut akan runtuh,” tuturnya.
Di sisi lain, Uchok juga mengkritisi rencana anggaran untuk membangun IKN sebesar Rp500 triliun yang dinilai tak sebanding dengan luas dan kondisi lahan IKN.
“Alokasi anggaran sebesar Rp500 triliun merupakan paket akal-akalan saja. Sengaja dikecil-kecilkan agar tidak ada reaksi dari publik dan DPR,” singgungnya.
Dibandingkan pemindahan Ibu Kota Kazakhstan dari Almaty ke Astana/Nursultan pada 1998 lalu, anggaran pemindahan Ibukota Jakarta ke Kalimantan Timur relatif lebih kecil.
Berdasarkan pengamatannya, biaya pindah ibukota Kazahkstan dari Almaty ke Astana/Nursultan sebesar USD30 miliar (setara Rp450 triliun), yang jika dikonversikan ke nilai mata uang saat ini bisa empat kali lipat setara USD120 miliar dollar (setara Rp1.800 triliun). Padahal luas Nursultan hanya 722 kilometer persegi atau ekivalen 72.200 hektare.
“Kok Indonesia bisa pindah Ibu Kota negara ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara dengan rencana luas 256.142 ha (3,5 kali lipat luas Nursultan) cuma membutuhkan biaya Rp500 triliun dengan lokasi yang sangat-sangat buruk, hutan belantara, banyak lubang
bekas tambang dan lahan gambut,” bebernya.
Dari gambaran ini, CBA pun meminta DPR agar menunda pengesahan RUU IKN menjadi UU sebelum ada kajian yang komprehensif. “Masa DPR mau dipaksa paksa pemerintah Jokowi hanya sebagai tukang stempel saja, kaya zaman orde baru,” pungkas Uchok. (ydh)