IPOL.ID – Ruang digital menjadi ruang partisipasi publik, interaksi virtual terjadi di dalamnya. Mereka bisa menyalurkan aspirasinya melalui berbagai platform, lewat media sosial. Sejatinya, kebebasan menyalurkan aspirasi tetap menjunjung kaidah-kaidah yang berlaku.
Terkait akan hal tersebut, Kresna Dewanata Phrosakh, Anggota Komisi I DPR RI mengatakan, dalam menyuarakan aspirasi di ranah digital, masyarakat harus didukung dengan literasi digital yang kuat. Sehingga mereka benar-benar mengetahui apa yang menjadi haknya. Apabila ada masyarakat belum melek digital, sangat dikhawatirkan memanfaatkan ruang digital dengan hal yang negatif, seperti ujaran kebencian.
“Mungkin tidak sengaja, hanya ingin menyuarakan suara mereka. Namun, kurangnya melek terhadap dunia digital, malah dapat menimbulkan masalah. Ketika sudah terkena masalah, mereka hanya bisa mengatakan bahwa mereka hanya menyuarakan hak suara mereka,” kata Kresna dalam webinar Ngobrol Bareng Legislator bertajuk “Suara Demokrasi di Ranah Digital”, Kamis (14/4).
Terlebih, kata Kresna, berdasarkan data Microsoft melalui Digital Civility Index (DCI), Indonesia dinobatkan menjadi salah satu negara dengan pengguna internet yang paling rendah bertata krama atau tidak sopan di dunia.
“Karena berbagai saran dan kritikan tidak disaring. Kita sebagai warga Indonesia yang mempunyai kebebasan berpendapat diharapkan lebih hati-hati dalam mengkritik ataupun menyarakan pendapat,” ungkapnya.
Di kesempatan yang sama, Donni Edwin, Dosen Ilmu Politik FISIP UI mengatakan, terbukanya ruang-ruang publik atau politik baru yang difasilitasi teknologi digital memang dapat dimanfaatkan sebagai sarana bagi partisipasi (politik) masyarakat, dalam urusan-urusan publik atau pengelolaan urusan pemerintahan sehari-hari.
“Kita Warga Negara Indonesia mempunyai peluang dalam memanfaatkan media digital dalam proses demokrasi. Kita dapat berpartisipasi dalam dunia politik, dan pengelolaan pemerintahan sehari-hari adalah salah satu elemen terpenting dalam demokrasi,” tukasnya.
Di sisi lain, di dunia digital, terutama dalam hal demokrasi juga ada ancaman dan tantangannya. Misalnya, sebagian pengguna internet yang mempromosikan nilai-nilai dan agenda anti demokrasi, informasi palsu (fake news), berita bohong (hoax), ujaran kebencian semakin mudah dikembangbiakan dan diviralkan di media sosial.
“Media sosial sangatlah bermanfaat bagi kita, banyak sekali yang bisa kita peroleh dari media sosial, dengan catatan kita harus bisa menyaring sebuah konten atau berita yang seseorang share. Sebagai netizen yang baik dalam bermedia sosial harus bijak dan hati-hati,” katanya.
Sementara, Samuel, Dirjen Aptika Kemkominfo mengakui indeks literasi digital Indonesia masih berada pada angka 3,49 dari skala 5. Artinya masih dalam kategori sedang belum mencapai tahap yang lebih baik.
“Angka ini perlu terus kita tingkatkan sehingga menjadi tugas kita bersama untuk membekali masyarakat dengan kemampuan litrerasi digital,” ujar Samuel.
Untuk itu, sambung dia, pihaknya bersama gerakan nasional, litasi digital, cyber kreasi, serta mitra dan jejaringnya memberikan pelatihan. Agar dapat meningkatkan kemampuan digital pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
“Berbagai pelatihan literasi digital yang kami berikan berbasis empat pilar utama, yaitu kecakapan digital, budaya digital, etika digital dan pemahaman digital. Hingga tahun 2021 tahun program literasi digital ini telah berhasil menjangkau lebih dari 12 juta masyarakat Indonesia,” tutupnya. (ibl/msb)