IPOL.ID – Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) telah meluncurkan penelitian mengenai “Ancaman Keterjangkauan Produk Rokok pada Anak Jalanan: Studi Kualitatif”. Studi itu menunjukkan bahwa anak jalanan sangat rentan mengkonsumsi rokok.
Sebagian besar pendapatan harian hasil kerja anak jalanan habis membeli rokok. Akibatnya, anak jalanan perokok tak hanya mengalami penurunan kondisi kesehatan. Mereka pun terjebak dalam kondisi kemiskinan.
Oleh karena itu, PKJS-UI telah melaksanakan studi kualitatif dengan pendekatan studi kasus Juni-Agustus 2022. “Tujuannya menganalisis ancaman keterjangkauan produk rokok di kalangan anak jalanan. Pengambilan data berlokasi di Jadetabek (Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi),” kata Renny Nurhasana, Tim Riset dan Manajer Program PKJS-UI di Jakarta, Jumat (16/9).
Selain anak jalanan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pembina rumah singgah anak jalanan serta Perwakilan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah menjadi informan dalam studi ini.
Renny mengatakan, konsumsi rokok pada anak jalanan dapat mengakibatkan mereka terjebak di jurang kemiskinan. Karena anak rentan mengalami penurunan produktivitas akibat dari penurunan kondisi kesehatan di masa depan.
“Studi ini menyimpulkan bahwa rokok masih sangat mudah dijangkau anak jalanan disertai berbagai konsekuensi merugikan,” katanya.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, Pande Putu Oka Kusumawardani mengungkapkan, hasil tembakau berupa sigaret dalam Undang-Undang Cukai dikategorikan sebagai barang kena cukai yang perlu dikendalikan konsumsinya.
Pemerintah cukup konsisten menaikkan tarif cukai dari tahun ke tahun, tuk menaikkan harga rokok. Selain itu, penyederhanaan struktur tarif cukai rokok sudah dilakukan hingga sekarang capai 8 layer. Penyederhanaan ini harapan besarnya adalah mencegah konsumen rokok berpindah ke rokok lebih murah.
Sehingga opsinya lebih sedikit, mencegah adanya penghindaran rokok ilegal, dan memudahkan administrasi cukai rokok. Pande menekankan kebijakan cukai ini tetap harus bersinergi dengan kebijakan non fiskal lainnya.
Selanjutnya, Rini Handayani, Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/KPPPA RI) mengatakan, upaya KPPPA dalam pencegahan dan pengendalian konsumsi rokok melalui Kota Layak Anak (KLA), salah satu indikatornya yaitu Kawasan Tanpa Rokok dan Iklan, Promosi, dan Sponsorship rokok rendah.
“Tak hanya pada KLA, hal ini juga didorong melalui pencapaian SDGs diterjemahkan pada SDGs Desa yang memiliki target persentase perokok ≤ 18 tahun mencapai 0%. Namun ini membutuhkan dukungan beberapa pihak untuk pencegahan dan pemulihan,” tandas Rini.
Sejalan hal tersebut, N. Susanti Srimulyani, Ketua Umum Forum Fungsional Penyuluh Sosial Indonesia, Kementerian Sosial RI menambahkan, Kementerian Sosial sangat konsen terkait anak jalanan. Kebijakan teknis dari Kemensos terkait Perlindungan Sosial berbasis keluarga dan komunitas, serta penguatan kapasitas balai rehabilitasi sosial.
Dinas sosial provinsi dan kabupaten beserta LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) di berbagai wilayah sangat mendukung upaya pengendalian rokok
kepada anak. Semua itu tidak lepas dari dukungan peran dari rumah singgah maupun karang taruna. Kajian ini sangat baik dan direspon baik menteri.
“Selain itu, saat ini Kementerian Sosial telah mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 175 tahun 2022 tentang Pengendalian Konsumsi Rokok di Lingkungan Kementerian Sosial, salah satunya menetapkan pelarangan pembelanjaan dana bantuan sosial (bansos) dalam bentuk rokok mencegah terjadinya penyalahgunaan bansos,” beber Susanti.
Langkah yang diambil oleh Menteri Sosial, katanya, sangat baik memutus rantai kemiskinan termasuk pada anak jalanan penerima Program Indonesia Pintar (PIP).
Benget Saragih, Ketua Tim Kerja Penyakit Kronis dan Gangguan Imunologi, Kementerian Kesehatan RI mengatakan, hasil studi ini dapat dijadikan referensi bagi.
Pemerintah meningkatkan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Indonesia segera memasuki puncak bonus demografi pada tahun 2030, sehingga penting meningkatkan penduduk usia produktif. Juga menjadi prioritas utama agar generasi berikutnya sehat dan produktif.
“Saya juga meminta dukungan dari semua pihak terutama dalam proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012. PP 109/12 belum cukup efektif menurunkan prevalensi perokok anak, sehingga perlu mengubah substansi menurunkan prevalensi perokok anak,” imbuh Benget.
Sementara itu, Aryana Satrya, Ketua PKJS-UI menambahkan, mudahnya akses rokok oleh anak jalanan berakibat bukan hanya kesehatan anak jalanan terancam. Tetapi mereka akan tetap terjebak dalam kemiskinan.
“Kebijakan rokok mahal melalui mekanisme cukai hasil tembakau (CHT) jadi salah satu kebijakan yang dapat mengintervensi langsung mengendalikan konsumsi rokok, terutama pada anak jalanan. Selain itu, belum adanya regulasi mengenai penjualan rokok ketengan membuat kenaikan CHT tidak akan optimal,” tutup dia. (Joesvicar Iqbal)