IPOL.ID – INADIS dan Mentawai Institute menggelar seminar dan pameran bertema Arat Sabulungan: Jalan Hidup Berkelanjutan Suku Mentawai, dalam satu rangkaian kegiatan Diskusi, Kreasi, dan Interaksi (DISTRAKSI) edisi ke-3, di kawasan MBloc Space, Jakarta Selatan, Jumat (25/11).
Sedianya kegiatan bakal diadakan selama 3 hari di Creative Hall, MBloc Space, Distraksi 3 diisi dengan dua kegiatan utama, yakni seminar dan pameran kebudayaan. Dalam seminar tersebut, dibahas tentang relevansi Arat Sabulungan dengan pembangunan berkelanjutan.
Seminar diisi oleh Prof. Marina Silalahi, Guru Besar bidang Etnobotani dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), Dr. Verdinand Robertua, Dosen bidang Diplomasi Lingkungan Universitas Kristen Indonesia, dan Sari Fitriani selaku Aktivis Budaya.
“Tujuan dari kegiatan ini adalah memperkenalkan kebudayaan Suku Mentawai kepada masyarakat luas serta merefleksikan relevansi kebudayaan tersebut dengan pembangunan berkelanjutan kontemporer,” kata Bimo Adi Pradono, Wakil Ketua Pelaksana Distraksi 3 pada wartawan di MBloc Space, Jumat (25/11).
Dia mengatakan, kemudian untuk mengenalkan budaya Suku Mentawai yang memiliki prinsip dalam menjaga alam. “Dan sebuah prinsip untuk tetap berkontribusi sebagaimana caranya kita melakukan hal berkelanjutan kepada Allah seperti misalkan kita menjaga alam bagaimana kita tidak mengeksploitasi alam dan segala macamnya,” terang Bimo.
Kegiatan ini, sambungnya, merupakan sebuah kolaborasi antara Indonesia Foundation dengan Suku Mentawai, bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sehingga tujuan kegiatan ini sendiri, katanya, untuk dapat mengenalkan dan mengetahui kepada generasi muda khususnya kepada siswa-siswa dalam negeri dan luar negeri terhadap Suku Mentawai.
Dalam diskusi itu juga bekerjasama dengan mahasiswa dari Eropa dan Jepang, untuk memberitahukan bahwa kebudayaan Mentawai itu memiliki prinsip yang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dia mengungkapkan, alasan kenapa memilih Mentawai karena Suku Mentawai termasuk dalam tujuh kebudayaan yang tidak pernah tercampur dengan kebudayaan lainnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Sjamsul Hadi mengatakan, upaya-upaya generasi muda untuk melestarikan budaya sesuai amanat Undang-Undang, pemajuan kebudayaan melalui upaya perlindungan pengembangan dan pemanfaatan.
Nah, salah satunya yang penting disini upaya-upaya pengembangan dan pemanfaatan dari upaya perlindungan sudah dilakukan selama ini oleh pemerintah bersama masyarakat selaku pemilik kebudayaan tersebut, saat ini mulai dikenalkan.
“Supaya generasi muda itu mengenal kearifan-kearifan lokal yang dimiliki oleh suku-suku bangsa di Indonesia,” paparnya.
Kemendikbud, lanjutnya, memberikan ruang seluas-luasnya dan mendorong upaya-upaya inisiatif yang jelas. Memberikan paparan yang cukup detail dan perspektif, kedepan memberikan perhatian terhadap masyarakat adat.
Nah, berkaitan dengan Mentawai itu adalah keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, dalam hal ini pemerintah menjaga supaya keberlanjutan dan perlindungan terhadap kekayaan khususnya aneka ragam hayati tersebut. Saat ini pengetahuannya masih kuat terekam di masyarakat adat Mentawai.
Semisal, katanya, teknologi pengobatan tradisional dan juga ragam tanaman obat yang saat ini banyak peneliti-peneliti asing masuk ke sana. “Dengan kami menggandeng, kolaborasi dengan mahasiswa dan juga perguruan tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi di sini membuka ruang pertama yaitu melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka”.
Tujuannya, agar mahasiswa dapat belajar tentang kearifan lokal disana. Itu yang pertama, kedua, membangun lebih percaya diri masyarakat adat yang selama ini mereka rasakan semua biasa-biasa saja. Sebenarnya dari kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat mengelola hutan menjadi bagian hidup keberanian mereka.
Sehingga ini ke depannya bisa lebih terus tergali. Kemudian membangun kesadaran generasi muda di wilayah adat tersebut. Hadirnya generasi muda dari perguruan tinggi kesana istilah awalnya minder akhirnya menyatu. Sehingga pengembangan dan pemanfaatan nilai-nilai kearifan lokal khususnya yang menjadi kepercayaan masyarakat Mentawai bisa lebih dikenal.
“Selaras dengan upaya-upaya, sesuai dengan amanat dan kemajuan kebudayaan. Berkaitan dengan masyarakat adat di Mentawai, kearifan lokal yang ada tetap lestari dengan kehadiran mahasiswa disini”.
Seperti pengetahuan tentang bagaimana mengolah sagu, pemanfaatan sagu menjadi ragam makanan atau kuliner tradisional. Termasuk adat istiadat menjadi konsen di Direktorat Jenderal Kebudayaan.
“Harapannya dari Kemendikbud itu tidak hanya berhenti di Suku Mentawai tapi suku-suku lain pun akan muncul pengenalan budayanya masing-masing dari Sabang-Merauke, sesuai amanat Bapak Presiden Jokowi, ada upaya-upaya kemandirian ketahanan pangan berbasis masyarakat apabila terjadi goncangan ekonomi dunia maka Indonesia tetap stabil,” imbuhnya.
Sementara, pada kegiatan itu juga diwarnai dengan pameran kebudayaan menampilkan tarian, film dokumenter, artefak, dan wujud budaya lain dari Suku Mentawai. Dimulai pada pukul 10.00 hingga 21.00 WIB. Diikuti oleh seluruh pegiat budaya, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Kegiatan menggandeng Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemdikbudristek RI), juga Dirjen Kebudayaan Kemdikbudristek, Museum Kebangkitan Nasional, MBloc Space, Universitas Kristen Indonesia (UKI), dan Indonesian Student Association for International Studies.
Turut hadir Sjamsul Hadi, Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Kemendikbud, dan Darynaufal Mulyaman, Sekretariat Pusat Kajian Kebijakan & Keamanan Luar Negeri/CESFAS UKI. (Joesvicar Iqbal/msb)