IPOL.ID – Penjabat (PJ) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono diminta untuk mengikuti keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) terkait Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2022. Hal ini penting dilakukan agar penentuan UMP DKI 2023 memiliki dasar.
“Ya, sebentar lagi UMP 2023 kan, ya saya pikir tinggal dijalankan aja putusan bandingnya (putusan PTUN) itu. pilihannya kan itu, supaya ada kepastian hukum kan,” ujar Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono kepada wartawan, Rabu (16/11/2022).
Dia menilai, eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terbukti tidak menggunakan landasan hukum yang kuat saat menetapkan upah minimum provinsi DKI Jakarta 2022.
Saat masih menjabat Gubernur, Anies menetapkan UMP DKI Jakarta 2022 sebesar Rp 4.641.854 melalui Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 1517 Tahun 2021. UMP DKI 2022 ini mengalami kenaikan sebesar 5,1 persen itu yang menuruti aspirasi para buruh.
Namun, Kepgub itu digugat oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia hingga dibatalkan dua kali oleh pengadilan di tingkat pertama dan kedua.
“Kalau enggak (dijalankan), kan enggak ada kepastian. satu tahun berarti enggak ada kepastian hukum kan, gitu lho. satu tahun enggak ada kepastian hukum, lebih baik fokus saja untuk bisa merencanakan penetapan UMP pada 2023 dalam faktor mendukung terhadap kebijakan penyesuaian UMP 2023,” katanya.
Dia menegaskan, kebijakan yang dikeluarkan Anies Baswedan tidak mencermati segala aspek yang berkaitan dengan rasionalisasi kenaikan UMP 2022. Sehingga, ucapnya, kebijakan atau keputusan gubernur digugat elemen masyarakat yang pada akhirnya keputusan dikalahkan.
“Kalau alas hukumnya kuat, pasti enggak mungkin kan dikalahkan. Ketika kita mengikuti keputusan banding, secara otomatis harus menyesuaikan dengan keputusan itu,” ucapnya.
Menurutnya, saat Anies Baswedan menaikkan UMP DKI 2022 kemarin tidak secaera maksimal membangun komunikasi yang baik antara tripartit itu saat sidang dewan pengupahan.
“Kemarin saat diputuskan yang pada akhirnya digugat, ada sebagian yang tidak menerima keputusan itu ya karena alasan hukumnya tidak kuat, prinsip hukumnya kan gitu,” tegasnya. (pin)