Jika kita teropong pandemi Covid 19 di Indonesia, ini adalah zona yang kita alami kisaran November 2019 ketika isu menyebarnya virus Corona dari Wuhan sudah beredar, hingga kisaran Februari 2020. Kita sudah mendengar kemungkinan dampak wabah ini, namun tak banyak orang dan organisasi mempersiapkan diri. Meme yang berisi candaan bahwa orang Indonesia biasa makan bakso sambil rumahnya terendam banjir seolah indikator kita yang pada masa itu belum peduli.
Tapi jika dilihat lebih luas, zona status quo bisa amat panjang jika, misalnya, kita kaitkan dengan pola kerja jarak jauh (remote working) yang akhirnya menjadi tren 2 tahun belakangan ini. Kerja jarak jauh bukan tren kemarin sore, ia sudah ada sejak lama. Seorang kawan bahkan telah mendirikan perusahaan selama 5 tahun lebih dan kerja jarak jauh sejak lahir hingga kini. Artinya, ilmunya sudah ada dan dilatih orang sejak lama. Namun kita masih ada di zona status quo saat itu.
Barulah ketika memasuki Maret 2020, kita memasuki zona kedua dalam perubahan, yaitu Zona Disrupsi atau Zona Gangguan. Dalam zona ini, perubahan biasanya diperkenalkan atau bahkan dipaksakan. Kebijakan PSBB hingga PPKM yang diterapkan pemerintah saat itu membuat banyak organisasi kalang kabut, dari organisasi bisnis hingga pendidikan. Orang yang stres terus-menerus kerja dari rumah bahkan hingga mengalami cabin fever meningkat. Sebuah perusahaan bahkan menyediakan jasa konselor untuk membantu karyawan mereka yang mengalaminya. Penjualan menurun, sebab permintaan pun demikian. Mereka yang, sebaliknya, mengalami peningkatan penjualan pun, tak sanggup menangani permintaan yang membludak.