Dalam sidang yang sama, Pakar Hukum Prof I Gde Pantja Astawa menegaskan, agar UU Tipikor tidak dijadikan sebagai UU ‘sapu jagat’ dalam penegakan hukum di Indonesia.
“Jadi dalam UU Tipikor Pasal 14 secara eksplisit dikatakan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran UU pada UU itu harus dinyatakan bahwa pelanggaran itu adalah pelanggaran tindak pidana korupsi baru bisa dipidana korupsi. Jika tidak tertuang, jangan jadikan UU Tipikor ini sebagai UU sapu jagat,” tegasnya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (26/1).
Dijelaskannya, jika sebuah perusahaan dinyatakan melanggar UU Kehutanan atau UU Perkebunan pada pelanggaran itu, harus tertuang ketentuan yang menyatakan perbuatan pelanggaran itu dapat dipidana. Dengan pidana korupsi, baru perkara pelanggaran tersebut dapat diadili secara Tipikor. Jika tidak maka pelanggaran itu harus diselesaikan sesuai ketentuan dalam UU tersebut.
“Artinya apakah di dalam UU Kehutanan itu disebutkan bahwa penyimpangan atau pelanggaran dalam UU kehutanan adalah tindak pidana korupsi. Kalau tidak ya UU Tipikor tidak bisa digunakan,” ulas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.