IPOL.ID – Pakar Hukum Keuangan Negara, Dian Puji Nugraha Simatupang bersaksi dalam sidang lanjutan dugaan korupsi dan pencucian uang alih fungsi hutan PT Duta Palma Group/Darmex Group di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau.
Untuk terdakwa Surya Darmadi alias Apeng selaku pemilik dari Duta Palma Group dan mantan Bupati Inhu Raja Thamsir Rahman, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, (26/1).
Dian Puji mengatakan, dalam menentukan kerugian keuangan negara sudah dijelaskan rinci dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Jumlahnya harus pasti, tidak imajiner.
Hal tersebut, sambungnya, merujuk Pasal 1 angka 22 UU 1 Tahun 2004, kerugian negara merupakan kekurangan uang, surat berharga atau barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian.
“Arti dari kekurangan yang nyata itu ya betul-betul merupakan milik negara, didasarkan nilai buku laporan uang, surat berharga atau barang milik negara, dibuktikan dengan dokumennya. Sedangkan arti pasti, artinya jumlahnya pasti, harus terukur pasti. Didasari dari nilai buku, bukan asumsi, prediksi atau imajinasi,” kata Dian mengawali paparannya.
Dia menjelaskan, total lost berdasarkan Putusan MK 25/2016, tidak dikenal lagi sejak ada Pasal 39 PP Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain.
Ditekankannya, dalam Pasal 39 PP itu, penentuan nilai kekurangan dari penyelesaian kerugian negara/daerah dilakukan berdasarkan nilai buku atau nilai wajar atas barang yang sejenis.
“Untuk mengetahui maksud nyata dan pasti kita baca di Pasal 39 PP Nomor 38 tahun 2016, maknanya adalah nilai buku, dokumen-dokumen atau pada nilai nyata wajar. Sehingga tidak didasari persepsi, tapi harus betul-betul nilai nyata yang pasti tadi,” ujarnya.
Sementara, lanjut dia, lembaga yang menghitung kerugian negara, Dian mengakui memang terdapat Pasal 10 ayat 1 UU 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Tetapi, ungkap Dian, dalam perkembangannya, Pasal 20 UU 30 Tahun 2014 yang menyebutkan jika kerugian negara diakibatkan kesalahan administrasi atau menerbitkan suatu tindakan administrasi, maka Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang berwenang. Tidak langsung masuk peradilan.
“Pasal 20 ayat 1 menyatakan APIP lah yang menyatakan menilai dan menghitung kerugian negara tersebut. Supaya, yang mulia, dapat dikembalikan selama 10 hari kerja,” kata Dian.
Berkaitan tindakan-tindakan administrasi keseluruhan, lanjutnya, berkaitan dengan adanya UU Cipta Kerja, Majelis, mungkin belum disosialisasikan, adanya Pasal 314 PP 5 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kegiatan berusaha berbasis risiko, menyatakan kalau di dalam sektor-sektor yang menjadi dasar perizinan itu muncul kerugian negara maka APIP harus lebih dahulu menilai dan menghitungnya.
“Bahkan disitu dinyatakan APH, Kejaksaan Agung, Kepolisian, KPK harus mendahulukan proses administrasi,” katanya.
Dian menyebut, dalam kegiatan sektor penataan usaha, kehutanan, lingkungan hidup dan sebagainya. Ternyata diduga ada kerugian negara atas laporan masyarakat dan ke penyidikan, maka akan menunggu APIP terlebih dahulu.
“Nanti APIP akan melaporkan tiga hal, kesalahan administrasi apakah ada kerugian negaranya, apakah ada, lalu apa yang harus diperbaiki. Nah kemudian diidentifikasi apakah memang harus diselesaikan pengadilan mana atau diselesaikan sendiri oleh administrasi negara tersebut,” beber Dian.
Dalam sidang yang sama, Pakar Hukum Prof I Gde Pantja Astawa menegaskan, agar UU Tipikor tidak dijadikan sebagai UU ‘sapu jagat’ dalam penegakan hukum di Indonesia.
“Jadi dalam UU Tipikor Pasal 14 secara eksplisit dikatakan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran UU pada UU itu harus dinyatakan bahwa pelanggaran itu adalah pelanggaran tindak pidana korupsi baru bisa dipidana korupsi. Jika tidak tertuang, jangan jadikan UU Tipikor ini sebagai UU sapu jagat,” tegasnya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (26/1).
Dijelaskannya, jika sebuah perusahaan dinyatakan melanggar UU Kehutanan atau UU Perkebunan pada pelanggaran itu, harus tertuang ketentuan yang menyatakan perbuatan pelanggaran itu dapat dipidana. Dengan pidana korupsi, baru perkara pelanggaran tersebut dapat diadili secara Tipikor. Jika tidak maka pelanggaran itu harus diselesaikan sesuai ketentuan dalam UU tersebut.
“Artinya apakah di dalam UU Kehutanan itu disebutkan bahwa penyimpangan atau pelanggaran dalam UU kehutanan adalah tindak pidana korupsi. Kalau tidak ya UU Tipikor tidak bisa digunakan,” ulas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.
Dalam UU Tipikor Pasal 14 tertulis, “Secara eksplisit menyatakan ketentuan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas meyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.”
Selain itu, I Gde Pantja mengatakan, terkait konflik masalah kehutanan, perkebunan dan perizinan di Indonesia, pemerintah telah menciptakan formulasi penyelesaian melalui UU Cipta Kerja.
Dengan tujuan semua badan usaha yang tak kunjung mendapatkan izin usaha meski telah berpuluh-puluh tahun mengusulkan izin.
Sebagai akibat dari konflik tumpang tindih kewenangan dalam pemberian izin berinvestasi, antara pemerintah pusat dan daerah serta lembaga atau kementerian, dapat mudah memiliki legalitas perizinan. Melalui pengusulan ulang perizinan secara administrasi, paling lama 3 tahun setelah UU Cipta Kerja disahkan menjadi UU.
“Atas karut marut masalah perizinan dengan fakta yang terjadi sekian puluh tahun, telah terjadi tumpang tindih aturan konflik kewenangan antara daerah dan pusat, mengakibatkan terjadinya proses pengurusan izin bertele-tele. Untuk itu, diciptakanlah UU Cipta Kerja ini dalam bentuk Omnibus,” ungkapnya.
Sebelumnya, I Gde Pantja menerangkan, dalam hal perizinan, saat seseorang Warga Negara Indonesia mengajukan permohonan izin kepada lembaga tertentu. Dengan segala syarat dan ketentuan telah terpenuhi, namun tak kunjung mendapatkan izin dimaksud dari lembaga tersebut. Maka pejabat yang menjadi pimpinan di lembaga itu dapat digugat secara hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebaliknya, untuk Warga Negara Indonesia yang telah mengusulkan perizinan itu dinyatakan tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya di hadapan hukum. Apabila terjadi permasalahan hukum bermula dari belum lengkapnya perizinan yang dimiliki.
“Kesimpulannya bukan pemohonnya yang melakukan pelanggaran hukum, tapi pejabatnya yang melakukan pelanggaran hukum dan pejabat ini dapat di PTUN menggunakan Pasal 3, karena tidak mengeluarkan putusan yang seharusnya dikeluarkan,” terangnya.
Seperti diketahui, perkara dugaan korupsi alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit hingga triliunan rupiah.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada kejaksaan Agung mendakwa bos PT Duta Palma Group/ Darmex Group Surya Darmadi merugikan negara sebesar Rp4.798.706.951.640 (Rp4 triliun) dan USD7.885.857,36 serta perekonomian negara sebesar Rp73.920.690.300.000 (Rp73 triliun).
“Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan Raja Thamsir Rachman secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (8/9).
Jaksa mendakwa Surya memperkaya diri sendiri sejumlah Rp7.593.068.204.327 (Rp7 triliun) dan 7.885.857,36 dolar. Perbuatannya itu, kata jaksa, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (Joesvicar Iqbal/msb)