IPOL.ID – Ketua Umum Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Holtikultura Indonesia (APT2PHI), Rahman Sabon Nama, gusar melihat situasi dan kondisi pemenuhan pangan beras oleh pemerintah dalam beberapa pekan ini. Ia menilai pemerintah dalam hal ini Bulog gagal melakukan stabilisasi harga beras sehingga menyulut kenaikan harga beras.
Dampaknya menurut Rahman, proporsi pengeluaran rumah tangga masyarakat untuk beras semakin besar dan berat. Sehingga, apabila pemerintah lamban mengatasi masalah ini bisa terjadi krisis beras yang menjalar ke krisis politik. “Ini dapat menyulitkan pemerintah,” ujar Rahman dalam siaran persnya di Jakarta baru-baru ini.
Dia merinci, bahwa harga beras medium boken 15 persen berdasarkan rilis Bank Indonesia pada dua hari lalu (17/2-2023) untuk wilayah DKI Jakarta mencapai Rp14.950/kg ,Sumatera Barat Rp15.250/kg, Kalimantan Selatan Rp15.950 dan Kalimantan Tengah Rp15.500/kg.
Harga-harga yang meroket ini praktis dipicu oleh ketidak-stabilan harga beras di pasar. Ada dua varibel katidak-stabilan harga beras pada sisi yang berbeda menurut pakar masalah pangan dan tanaman pangan ini:
Satu : Ketidak-stabilan harga beras antar musim, dimana perbedaannya antara musim panen dan musim paceklik. Dua: Ketidak-stabilan antar tahun, disebabkan pengaruh iklim seperti kekeringan, kebanjiran, dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang sulit diramalkan.
Oleh karena itu, kata Rahman, diperlukan kepandaian dan kecekatan pemerintah dalam kebijakan untuk menstabilkan harga lewat operasi pasar. Baik dari aspek distribusi maupun manajemen stok inti dari permasalahan stabilisasi harga beras.
Akan tetapi dalam cipta, kreasi, maupun eksekusi stabilitas harga beras, Rahman menengarai bahwa kementerian dan lembaga terkait, terutama Kementerian Perdagangan, Badan Pangan Nasional, beserta Bulog, nyaris tidak punya kapasitas kan kapabilitas sebagai eksekutor ataupun policy maker stabilitas harga beras.
“Toh Presiden Joko Widodo kerap kali mengatakan bahwa betapa penting dan utamanya seorang eksekutor- birokrat menyukseskan pekerjaan atau desain program pemerintah,” kata Rahman Sabon yang juga adalah Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN).
Karena itu, menurutnya, Presiden Jokowi perlu memberi teguran serius kepada pimpinan kementerian dan lembaga terkait itu: Menteri Perdagangan, Kepala Badan Pangan Nasional, dan Kepala Bulog.
Atau, kalau tidak laik atau mampu mengurus masalah pangan rakyat, lebih baik minta kepada presiden untuk mengundurkan diri, ketimbang dibilang tidak becus mengurus pangan untuk rakyat,” kata pria asal pulau Adonara NTT itu.
Alumnus Lemhanas RI ini membeberkan bahwa sekarang inipun inflasi semakin sulit terkendali akibat harga beras medium sudah tembus Rp15.000/kg. Lebih spesifik dikatakan bahwa problem operasi pasar tidak berhasil mencapai sasaran harga eceran tertinggi (HE) Rp9400/kg saat ini.
Problematika itu dikarenakan misi stabilisasi harga beras yg dilakukan Bulog tidak memperhitungkan ketepatan waktu pembelian, penguasaan stok, serta pelepasan stok pada saat yang tepat.
Selain itu, akibat dari Bulog tidak melibatkan peran strategis mitranya yang selama ini membantu pemerintah dalam stabilisasi harga. Mitra strategis dimaksud yaitu APT2PHI dan PERPADI (Asosiasi Penggilingan Padi dan Pedagang Beras Indonesia) yang anggotanya adalah para pedagang pangan dan beras.
“Mitra strategis itu tidak dilibatkan dalam penyaluran beras untuk Operasi Pasar Bulog,” kata Rahman tandas.
Menurut dia, beras Bulog dijual dengan harga subsidi berdasarkan SPS Bulog Rp8300/kg , distribusinya tidak menyentuh sasaran pasar tradisional karena dikuasai mafia beras dan ditemukan dijual oleh supermarket milik oligarki seperti pedagang retailer Indomart dan Alfamart yang dibanderol dengan harga Rp12.500/kg.
Masih relevan dengan stabilisasi harga beras, Rahman pun membeberkan insiden yang dinilainya tragis antara Bulug dan komunitas pedagang beras.
Insiden itu, kata Rahman, terjadi Jumat lalu (17/2-2023). Bahwa, para pedagang beras merasa ditipu pemerintah akibat Bulog Divre DKI Jakarta dan Banten sudah menerima uang dari pedagang tetapi beras tidak ada digudang Bulog DKI Jakarta.
Dugaan penipuan itu, kata Rahman, bermula saat para pedagang beras itu, pada 9 Februari 2023, melakukan penyetoran uang ke rekening Bulog berdasarkan Surat Perintah Setor (SPS) yang dikeluarkan Bulog. Setelah kewajiban setor itu, D/O (Dilevery Order) tak kunjung diterbitkan Bulog untuk bisa mendapatkan beras dari gudang Bulog.
Akibatnya, para pedagang itupun tersulut amarah dan berujung pada unjuk rasa ke Bulog DKI Jakarta. Mereka merangsek masuk ke dalam ruang kantor Bulog DKI itu, tapi dihalau keluar oleh polisi.
Dengan antrean truk-truk angkutan para pendemo menuntut agar pihak Bulog DKI membuka gudang beras untuk diangkut sebanyak nilai uang yang disetor. Hasilnya, mereka justru berhadapan dengan aparat polisi, dan beras di gudang pun tak kunjung dikeluarkan karena memang tak ada beras.
Rahman mengatakan, sepanjang sejarah Indonesia merdeka baru terjadi di era kekuasaan Joko Widodo para pedagang beras penyalur Bulog merasa ditipu mentah-mentah oleh pemerintah. “Memilukan dan memalukan,” ucap Rahman sesal. (timur)