IPOL.ID – Indonesia dikenal sebagai negeri 1001 candi. HIngga kini lebih dari 1000 candi tercatat di tanah air. Kebanyakan tersebar di Jawa, Sumatera dan Nusa Tenggara. Dari sebaran tersebut, kawasan situs candi Batu Jaya adalah yang terbesar dan terua di Indonesia.
Situs Candi Batu Jaya terletak di di Desa Segaran, Kecamatan Batu Jaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Dengan luas mencapai 337 hektare, terdapat 46 titik sebaran candi yang sudah ditemukan. Tidak menutup kemungkinan sebaran titik candi lain akan bertambah.
Lokasi percandian ini dahulu merupakan danau, dimana candi dibangun di tepi danau. Hal ini juga ditandakan dengan nama desa yang ada, yaitu Segaran dan Telagajaya, yang berarti laut atau kolam, seperti danau dalam bahasa Sanskerta.
Tak hanya luas, faktanya Kompleks Percandian di Batu Jaya adalah yang tertua di Indonesia. Didirikan sekitar abad ke 3 atau 4 Masehi, Candi Batu Jaya merupakan bagian dari situs kompleks Candi Budha Mahayana. Tahun ini jauh lebih tua dan lebih luas dari Kompleks Candi Budha Borobudur di Jawa Tengah yang didirikan pada sekitar abad ke 8 Masehi
Situs Batu Jaya pertama kali ditemukan pada 1984 oleh tim Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di situs ini, ditemukan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah sawah.
Semenjak awal penelitian sampai dengan tahun 2013, telah ditemukan 39 sisa-sisa bangunan purbakala, yang sebagian besar merupakan bagian dari struktur candi.
Gundukan
Dikutip dari citarum.bappenas.go.id, penemuan situs Batu Jaya bermula ketika penduduk lokal menemukan Unur-Unur. Unur-unur, atau dalam bahasa sunda berarti tanah berbentuk gundukan bukit, banyak ditemukan di areal persawahan di daerah ini. Sebelum diketahui bahwa di dalamnya terdapat situs candi kuno, unur-unur yang banyak ditumbuhi tanaman perdu, pohon kelapa, pisang dan semak-semak sering digunakan sebagai tempat menggembala hewan ternak terutama kambing.
Bahkan unur-unur ini juga digunakan sebagai tempat mengungsi saat terjadinya banjir, karena letaknya yang lebih tinggi dibandingkan dengan areal persawahan dan permukiman di sekitarnya. Masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut sebelumnya tidak menyadari, bahwa sesungguhnya mereka tinggal cukup dekat dengan situs yang menyimpan kebudayaan peradaban tinggi masa lalu.
Hingga saat ini belum diketahui, mengapa Situs Candi Batu Jaya ini dapat terkubur lapisan tanah sedalam 60-100 cm dan membentuk unur-unur. Apakah dari faktor alam, seperti misalnya letusan gunung api yang besar, kiriman lumpur banjir Sungai Citarum, akibat perang ataukah karena sebab yang lainnya.
Penemuan benda bersejarah ini didahului dengan penemuan Situs Cibuaya, sebuah situs peninggalan megalitikum di Desa Cibuaya Kecamatan Pedes, yang letaknya tidak jauh dari Kecamatan Pakis Jaya dan Kecamatan Batu Jaya. Masyarakat yang menemukan batu bata berbentuk aneh beserta kumpulan kulit kerang disekitar unur-unur ini, kemudian melaporkan hasil temuannya kepada para peneliti yang sedang melakukan penggalian Arca Wisnu di kawasan Cibuaya. Pada tahun 1984, maka dimulailah penelitian dan penggalian di kawasan Batu Jaya ini.
Unur atau gundukan tanah yang pertama kali diteliti adalah Unur Jiwa. Setelah sedikit demi sedikit lapisan tanahnya tergali, ditemukan tumpukan batu bata yang menyerupai bentuk bangunan candi. Bentuk candi tersebut sudah tidak beraturan, sebagian bangunannya telah hancur. Karena para ahli tidak menemukan jejak catatan mengenai bentuk candi-candi yang ada di kawasan ini, maka pemugaran hanya dilakukan sebatas mengembalikan lagi posisi batu bata sesuai dengan tempatnya.
Berdasar penelitian para arkeolog dari berbagai lembaga, unur yang di dalamnya diduga juga terdapat bangunan candi pada kawasan ini, berjumlah lebih dari 30 buah. Unur ini tersebar di berbagai lokasi dengan luas total area mencapai kurang lebih 25 km2. Sampai dengan saat ini baru 11 candi yang sudah di teliti (ekskavasi).
Teknologi Tinggi
Jauh sebelum abad ke 3-4, dimana candi ini diperkirakan bemula, dari hasil penelitian dengan menggunakan media radiometri carbon, diperkirakan benda-benda bersejarah dari situs Candi Batu Jaya berasal dari abad ke 2. Terdapat pula temuan tembikar Arikamedu yang sebenarnya berasal dari pelabuhan kuno di India Selatan pada abad ke 1. Sehingga seperti disimpulkan Hasan Djafar, Arkeolog UI yang menjadi ketua tim penelitian Batu Jaya, dapat dikatakan Situs Batu Jaya berada di ambang batas masa prasejarah dan sejarah karena batas masa prasejarah adalah sebelum tahun 400 Masehi.
Peralihan transisi masa prasejarah ini juga dikuatkan dengan ditemukannya fosil-fosil kerangka manusia, yang tata cara pemakamannya mirip dengan penemuan Buni Pottery Complex atau Kompleks Tembikar Buni yang ditemukan di dekat Kali Bekasi. Buni merupakan bekas permukiman prasejarah yang mempunya tradisi menguburkan mayat dengan dibekali benda-benda berharga seperti gelang kaca, manik-manik (yang terbuat dari kaca, batu, atau emas), dan lain-lain.
Sedangkan ciri-ciri dari Candi Budha dilihat dari penemuan benda-benda purbakala berupa artefak, diantaranya, arca kepala manusia, prasasti lempengan emas yang berisi ayat suci agama Budha, fragmen prasasti terakota, fragmen keramik, stempel kerajaan maupun tablet /materai bergambar relief Budha dan lain sebagainya. Temuan-temuan ini selain disimpan di Museum Batu Jaya yang terletak tidak jauh dari kompleks Candi, sebagian lainnya terutama temuan-temuan yang berbahan dasar emas di simpan di Museum Nasional.
Selain itu bentuk candi-candi yang sudah diteliti juga mencirikan hal yang serupa. Candi Jiwa misalnya, meskipun bentuknya hanya tinggal dasarnya saja, candi yang berukuran 19×19 m dengan tinggi 4,2 m ini tidak mempunyai pintu dan anak tangga. Bentuk semacam ini jelas tidak ditemukan pada candi manapun di Indonesia. Pada bagian atas candi tersusun bata melingkar dengan ukuran diameter 6 meter berbentuk kelopak bunga teratai/padma/ Nymphaeaceae, bunga yang sering digunakan dalam upacara-upacara keagamaan agama Budha. Kemungkinan Candi Jiwa ini digunakan untuk meletakkan arca atau patung.
Candi kedua yang dikunjungi adalah Candi Blandongan, letak candi ini tidak jauh dari Candi Jiwa. Ukurannya lebih besar dan berbentuk bujur sangkar 24,2 x 24,2 m. Pada masing-masing sisinya terdapat empat tangga masuk dengan orientasi menghadap empat arah mata angin. Di salah satu sisi bangunan ini terdapat susunan bata yang melengkung di atas tanah, dan dipercaya sebagai robohan gapura pintu masuk ke Candi Blandongan ini. Adanya sisa batu andesit berdiameter sekitar 30 cm dan lubang sisa tiang di sekililing teras dipercaya bahwa dahulu berfungsi sebagai tempat didirikan tiang-tiang kayu yang mengelilingi stupa. Diduga Candi Blandongan ini merupakan candi utama di kompleks Candi Batu Jaya.
Candi-candi di kompleks Candi Batu Jaya ini terbentuk dari susunan batu bata. Apabila dilihat secara lebih detail, masih terdapat bekas kulit padi yang menempel di bagian dalam batu bata. Kulit padi atau sekam ini digunakan sebagai bahan campuran tanah liat untuk membuat batu bata.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada jaman tersebut telah memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai bagaimana membuat batu bata yang baik. Karena seperti diketahui kulit padi kering yang digunakan sebagai bahan pembakar apabila dicampurkan dapat menghantarkan panas ke dalam batu bata, sehingga tingkat kematangan batu bata ini merata sampai ke bagian dalam. Keberadaan sekam ini juga menandakan bahwa pada masa ini sudah terjadi perubahan pola kehidupan masyarakat tatar sunda yang biasanya ngahuma (berpindah ladang) mulai menetap dan bercocok tanam padi.
Di salah satu bagian sisi bangunan Candi Blandongan juga dilapisi dengan lapisan putih semacam kapur (vajra-lepa). Hal ini menjadi bahan pertanyaan dari mana asal bahan lapisan ini, karena letak candi berada di kawasan pesisir yang jauh dari pegunungan kapur. Namun setelah diteliti ternyata bahan pembentuknya terdiri dari tumbukan kulit kerang yang dicampur dengan pasir dan saat ini dikenal dengan nama stuko/stucco. Fungsi dari lapisan ini adalah untuk melindungi candi dari sifat korosif air laut yang dapat merusak bangunan candi. Selain itu bahan stuko ini juga digunakan sebagai bahan perekat batu-batu kecil yang dibentuk menjadi arca.
Keberadaan batuan kerikil ini juga menarik, karena ditemukan juga batuan lain dalam bentuk yang cukup besar dan digunakan sebagai batu fondasi bangunan candi. Batuan jenis ini sangat jarang ditemui di daerah pesisir yang kecenderungan berkarakteristik landai dan berpasir. Sehingga dipercaya batu-batu besar dan kerikil ini diambil dari hulu Sungai Citarum yang dibawa menggunakan rakit atau sampan sampai ke daerah Batu Jaya. Dapat dibayangkan bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan di masa itu sebenarnya sudah cukup tinggi.
Tidak jauh dari Candi Blandongan juga terdapat sumur tua yang dipercaya sudah ada pada saat kompleks Candi Batu Jaya ini dibangun. Fungsi dari sumur ini dipercaya untuk mengambil air suci yang digunakan dalam upacara-upacara keagamaan.
Salah satu temuan yang paling terkenal di Candi Blandongan adalah amulet (jimat) dan votive tablet (simbol Buddha dari tanah liat). Kegiatan ekskavasi di Candi Blandongan yang berlangsung antara 1999-2013 juga menemukan artefak berupa amulet (jimat), votive tablet, arca Buddha, dan gerabah. Amulet yang ditemukan merupakan salah satu atribut yang digunakan sebagai aktivitas ziarah dalam agama Buddha. Sedangkan votive tablet adalah simbol Buddha berukuran kecil yang terbuat dari tanah liat yang dicetak dengan teknik tekan. Selain itu, di Candi Blandongan ditemukan gerabah Arikamedu yang dipercaya berasal dari abad ke-4. (timur)