IPOL.ID – Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dapat menimbulkan ancaman yang “lebih mendesak” bagi umat manusia daripada isu perubahan iklim, kata pelopor AI Geoffrey Hinton kepada Reuters dalam sebuah wawancara pada Jumat (5/5).
Geoffrey Hinton, yang dikenal luas sebagai salah satu “bapak baptis AI”, baru-baru ini mengumumkan bahwa dia telah hengkang dari perusahaan teknologi Alphabet, setelah satu dekade bekerja di perusahaan tersebut.
Hinton mengatakan bahwa dia ingin berbicara tentang risiko teknologi tanpa memengaruhi mantan perusahaan tempatnya bekerja itu.
Karya Hinton dianggap penting untuk pengembangan sistem AI kontemporer. Pada 1986, ia ikut menulis makalah “Mempelajari representasi dengan kesalahan propagasi balik”, sebuah tonggak sejarah dalam pengembangan jaringan yang mendukung teknologi AI. Pada 2018, dia dianugerahi Penghargaan Turing sebagai pengakuan atas terobosan penelitiannya.
Namun Hinton kini berdiri di jajaran para pemimpin teknologi yang secara terbuka mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang kemungkinan ancaman yang ditimbulkan oleh AI, jika mesin itu berhasil mencapai kecerdasan yang lebih tinggi daripada manusia hingga akhirnya dapat mengendalikan planet ini.
“Saya tidak ingin meremehkan perubahan iklim. Saya tidak ingin mengatakan, ‘Anda tidak perlu khawatir tentang perubahan iklim.’ Itu juga (memiliki) risiko yang sangat besar,” kata Hinton mengutip VOA Indonesia, Minggu (7/5).
“Namun, saya pikir ini (AI) mungkin akan menjadi lebih mendesak.”
Dia menambahkan: “Dengan perubahan iklim, sangat mudah untuk merekomendasikan apa yang harus Anda lakukan: Anda berhenti membakar karbon. Jika Anda melakukannya, pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja. Sedangkan untuk ini (AI), sama sekali tidak jelas apa yang harus Anda lakukan.”
OpenAI yang didukung Microsoft menjadi pionir pada perlombaan platform teknologi pada November, ketika berhasil memmbuat chatbot ChatGPT bertenaga AI untuk publik. OpenAI serta merta menjadi aplikasi yang tumbuh tercepat dalam sejarah, mencapai 100 juta pengguna bulanan dalam dua bulan.
Pada April, CEO Twitter Elon Musk bergabung dengan ribuan orang lainnya yang menandatangani surat terbuka. Surat itu menyerukan dilakukannya jeda enam bulan dalam pengembangan sistem yang lebih kuat daripada GPT-4 OpenAI yang baru diluncurkan.
Hinton mengatakan bahwa AI mungkin terbukti menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia, tetapi dia tidak setuju dengan penghentian penelitian.
“Ini sama sekali tidak realistis,” katanya. “Saya di kubu yang berpikir ini adalah risiko eksistensial, dan itu cukup dekat sehingga kita harus bekerja sangat keras sekarang, dan mengerahkan banyak sumber daya untuk mencari tahu apa yang bisa kita lakukan.”
Di Uni Eropa, sebuah komite anggota parlemen menanggapi surat yang didukung Musk, menyerukan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk menggelar komite tingkat tinggi global dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen tentang arah masa depan teknologi.
Minggu lalu, komite menyetujui serangkaian proposal penting yang menargetkan AI generatif, yang akan memaksa perusahaan seperti OpenAI untuk mengungkapkan materi hak cipta apa pun yang digunakan untuk melatih model mereka.
Sementara itu, Biden mengadakan pembicaraan dengan sejumlah pemimpin perusahaan AI, termasuk CEO Alphabet Sundar Pichai dan CEO OpenAI Sam Altman di Gedung Putih. Pembicaraan itu menjanjikan “diskusi yang jujur dan konstruktif” tentang perlunya perusahaan agar lebih transparan tentang sistem mereka.
“Pemimpin teknologi paling memahaminya, dan politisi harus terlibat,” kata Hinton. “Itu mempengaruhi kita semua, jadi kita semua harus memikirkannya,” tukasnya. (VOA Indonesia/Far)