Benny menjelaskan, rujukan BP2MI sejauh ini sudah jelas yakni sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, begitu juga Perpres Nomor 90 Tahun 2019 sudah jelas tidak menegaskan Pekerja Migran Indonesia harus disingkat PMI.
Menurut dia, itu yang dijalankan BP2MI selama ini. Akronim PMI tidak ditulis dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, maupun Perpres Nomor 90 Tahun 2019. Mengejawantahkan itu, BP2MI sejauh ini konsisten.
“Kalau ada pihak lain, seperti wartawan menggunakan singkatan atau istilah PMI dalam hal menerangkan Pekerja Migran Indonesia itu bukan kewenangan BP2MI untuk melarang mereka,’’ tegas Benny.
Politisi Partai Hanura itu menegaskan, posisi BP2MI dalam hal implementasi perundang-undangan tetaplah tegak lurus. BP2MI bahkan melakukan sejumlah perbaikan untuk istilah, diksi cenderung mendiskreditkan para Pekerja Migran Indonesia. Tidak mau melihat Pahlawan Devisa dipersulit siapapun.
“Jika menggunakan istilah atau kata PMI, BP2MI tidak pernah menggunakan dalam kalimat tunggal. Misalnya kita menyebut menghindari penempatan pekerja migran Indonesia atau PMI, dengan penambahan PMI terkendala, PMI diberangkatkan secara ilegal oleh para sindikat. Saya memang tak mau pekerja migran Indonesia dijadikan sapi perah, dan dirugikan atau diperbudak. Baik dalam diksi, narasi, konteks verbal, maupun aktualisasi kebijakan di lapangan,” tukas Benny.