IPOL.ID – Kasus bos kantor hukum di Jakarta Selatan yang dilaporkan mantan karyawannya karena diduga menahan ijazah. Hal tersebut dibantah oleh Kuasa hukum Farida Law Office, Raditya Darmadi saat mendatangi Mapolres Metro Jakarta Selatan.
Kuasa hukum, Raditya mengatakan, kasus penggelapan ijazah yang dilaporkan oleh YK, IL dan AS ke Mapolres Metro Jakarta Selatan beberapa waktu lalu adalah mengada-ada.
Sehingga pada Jumat (28/7) siang tadi, pihaknya menindaklanjuti ke Mapolres Jakarta Selatan untuk mengajukan permohonan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam perkara.
“Karena ijazahnya yang bersangkutan sudah dikembalikan, jadi kami ingin mengurus kasus ini mengajukan permohonan SP3,” kata Raditya ditemui di Mapolres Jakarta Selatan, Jumat (28/7) siang.
Lebih jauh, atas pelaporan penggelapan mantan karyawan kantor hukum Farida, sambung Raditya, pihaknya ingin mengklarifikasi bahwa sebetulnya tidak ada sama sekali Ibu Farida melakukan penahanan ijazah mantan karyawannya itu.
Menurutnya, ijazah itu ada di Ibu Farida karena dititipkan, terminologinya juga harus dimengerti karena penitipan bukan penahanan.
“Saat penitipan ijazah itu ada kesepakatan antara dua belah pihak, untuk YK melaksanakan penugasan dari Ibu Farida. YK sebagai lowyer baru ingin mendapatkan mentoring dari Ibu Farida, menitipkan ijazah untuk ditugaskan Ibu Farida,” ujar dia.
Kemudian atas dugaan penggelapan ijazah itu, mantan karyawan YK dan IL, pengacara serta AS, staf IT bersama-sama melaporkan bosnya. “Mereka merasa tertindas oleh bosnya,” ungkap dia.
“Padahal ijazah yang bersangkutan sudah dikembalikan, dan itu atas dasar iktikad baik dari kantor hukum Farida,” tambahnya.
Nyatanya, sambung Raditya, mereka melakukan pelanggaran dan merugikan kantor hukum Farida.
“Seperti YK yang mengaku lulusan Magister Hukum (S2) dan mendapatkan upah serta hak yang seharusnya tidak didapatkannya, karena diduga memalsukan latar belakang pendidikannya (tidak ditemukan di laman resmi Dikti),” beber Raditya.
Sehingga pihaknya ingin hal tersebut diklarifikasi dengan memanggil yang bersangkutan hingga 8 kali, tetapi mereka tidak pernah memenuhi panggilan itu.
“Panggilannya itu untuk mengambil ijazah dan untuk membayarkan kewajiban mereka yang harus ditunaikan serta untuk mengklarifikasi,” tegasnya.
Bahkan saat beberapa kali IL, AS dan IT dipanggil untuk menyelesaikan hak dan kewajibannya serta mengklarifikasi kepada bosnya, ketiganya kerap mangkir.
“IL dan AS diduga mencoba untuk merusak sistem IT kantor bosnya bahkan mereka diduga bersama-sama melakukan pengrusakan dan penggelapan terhadap aset kantor. Sebagai pengacara dan pekerja seharusnya beretika dalam berprofesi. Bukannya memeras orang lain dan melaporkan tuduhan palsu yang tidak hanya merugikan bosnya, namun juga kantor dan jajarannya, jadi kami ingin mereka mengklarifikasi dan memenuhi kewajibannya,” tandas Raditya. (Joesvicar Iqbal)