IPOL.ID – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid memberikan pandangan dan analisis hukumnya terkait polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres sehingga dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Fahri Bachmid berpendapat bahwa sebenarnya jika ditelaah lebih jauh secara cermat, baik dari aspek filosofis maupun legalistik, tidak cukup terdapat argumentasi memadai untuk dengan mudah menjustifikasi bahwa produk putusan dari lembaga etik dapat membatalkan produk putusan MK.
“Karena pada hakikatnya MK dengan putusannya adalah organ konstitusional sangat limitatif terkait kewenagan atributifnya, termasuk sifat putusannya bercorak ‘ergo omnes’ maupun ‘final and binding’,” papar Fahri di Jakarta, Minggu (5/11).
Ketua Mahkamah PBB itu menambahkan, dengan demikian sepanjang mengenai produk putusan telah dikeluarkannya, sama sekali tidak dibuatkan mekanisme banding atau peninjauan kembali untuk mereview terhadap segala hal.
Baik materil maupun formil yang melingkupinya, apakah berkaitan dengan keadaan atau fakta hukum tertentu, aspek legal serta prosedur hukum acara dan seterusnya.
Fahri menjelaskan, tidak terkecuali unsur dinamika yang terjadi dalam proses pengambilan putusan dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Misal, terdapat pendapat berbeda ‘dissenting opinion’ dan/atau alasan hukum yang berbeda ‘concurring opinion’ para hakim konstitusi. Tetapi, saat telah dibacakan dalam forum persidangan terbuka untuk umum, maka tentunya disitulah letak keabsahan atau keberlakuannya.
Apakah sifatnya putusan MK yang ‘Self Implementing’ atau ‘Legally Null And Void’ atau ‘Conditionally Constitutional’ ataukah yang ‘Conditionally Unconstitutional’.
“Sehingga tidak tersedia alat konstitusional untuk dapat mengujinya,” kata Fahri.
Hal ini tentunya berbeda yang konstruksi pelembagaan forum etik MK, hanya berdasarkan pada mandat hukum setingkat Undang-Undang (UU). UU mendelegasikan agar MK wajib menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi berisi norma harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, dan negarawan.
Sehingga jika mencoba mendalami dengan metode penafsiran sistematis serta teleologis, maka sungguh produk putusan MKMK dalam hal hakim terlapor atau hakim terduga, menurut Majelis Kehormatan, jika terbukti melakukan pelanggaran, maka konsekwensi hukumnya adalah diberikan sanksi. Baik ringan maupun berat, dan sangat sulit untuk menalar jika putusan etik dapat menganulir putusan pengadilan MK.
“Saya belum menemukan suatu argumentasi konstitusional dan hukum kokoh terkait ekstensifikasi produk putusan lembaga etik yang dapat membatalkan produk putusan MK, belum memadainya teori serta doktrin hukum relevan hal itu. Sebab, secara filosofis, sesungguhnya putusan MKMK adalah dalam rangka menegakan ‘Code of Conduct’ yaitu menegakan ‘Sapta Karsa Hutama’ sebagaimana diatur dalam peraturan MK RI Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi MK RI”.
Fahri berpandangan bahwa jika mendasari pandangan dari berbagai pihak mempersoalkan bahwa putusan MK dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinilai melanggar ketentuan norma Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selanjutnya mengatur bahwa seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila dia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara sedang diperiksa, baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan pihak berperkara.
Kemudian ketentuan ayat (6) mengatur bahwa dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan berdasar konstruksi norma itu.
“Saya berpendapat bahwa masih terdapat kekosongan pengaturan terkait pranata ini, karena mekanisme teknis terkait bagaimana MK mengadili ulang perkara terkategori terdapat pelanggaran prosedur mengadili karena terdapat dugaan ‘conflict of interest’ dalam perkara itu”.
“Sebab, UU MK tidak mengatur jalan keluar secara yuridis jika keadaan hukum demikian itu memang terjadi, hal itu secara ideal harus diatur dalam UU organik mengatur secara khusus hukum acaranya dalam UU 24 Tahun 2003 tentang MK. Terahir diatur dalam UU No. 7/2020, selain tidak diatur dalam UU MK, secara khusus juga tidak diatur dalam peraturan MK terkait pranata konstitusional itu, sehingga saya berpandangan memang masih terdapat kekosongan hukum ‘recht vacuum’ atas persoalan itu,” pungkas dia. (Joesvicar Iqbal)