Baik materil maupun formil yang melingkupinya, apakah berkaitan dengan keadaan atau fakta hukum tertentu, aspek legal serta prosedur hukum acara dan seterusnya.
Fahri menjelaskan, tidak terkecuali unsur dinamika yang terjadi dalam proses pengambilan putusan dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Misal, terdapat pendapat berbeda ‘dissenting opinion’ dan/atau alasan hukum yang berbeda ‘concurring opinion’ para hakim konstitusi. Tetapi, saat telah dibacakan dalam forum persidangan terbuka untuk umum, maka tentunya disitulah letak keabsahan atau keberlakuannya.
Apakah sifatnya putusan MK yang ‘Self Implementing’ atau ‘Legally Null And Void’ atau ‘Conditionally Constitutional’ ataukah yang ‘Conditionally Unconstitutional’.
“Sehingga tidak tersedia alat konstitusional untuk dapat mengujinya,” kata Fahri.
Hal ini tentunya berbeda yang konstruksi pelembagaan forum etik MK, hanya berdasarkan pada mandat hukum setingkat Undang-Undang (UU). UU mendelegasikan agar MK wajib menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi berisi norma harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, dan negarawan.