IPOL.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Senin (30/10) lalu digugat oleh seorang dosen bernama Brian Demas Wicaksono. Tak tanggung-tanggung, KPU digugat sebesar Rp70,5 triliun, karena diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Pasalnya, KPU diduga telah menerima pendaftaran capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Seharusnya, KPU melakukan perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) sesuai putusan MK terkait syarat batas usia capres-cawapres. Namun perubahan PKPU itu tidak dilakukan KPU dan tetap menerima pendaftaran capres-cawapres Prabowo dan Gibran.
Merespon hal itu, Ketua Tim Hukum Merah Putih C Suhadi mengaku turut mencermati soal gugatan tersebut.
“Adapun alasan gugatan terkait diterimanya Bacapres dan Bacawapres Prabowo Subianto berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka. Dan nilai gugatan tidak tanggung-tanggung, KPU dituntut 70,5 triliun,” ujar Suhadi kepada wartawan di Jakarta, Rabu (1/11).
Menurut gugatan berdasarkan penelusuran penulis (C Suhadi) dari media pada 30 Oktober 2023 jam 14.37 WIB, kata Suhadi, KPU dianggap lalai dalam melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia.
“Karena menurut hukum PKPU Nomor 19 tahun 2023 tentang Capres dan Cawapres belum dikoordinasikan kepada DPR RI untuk memperbaiki PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) masalah batas usia capres dan cawapres,” ungkap Suhadi.
Dijelaskannya, dengan menarik benang merah putusan MK dan Pendaftaran Capres dan Cawapres dikaitkan dengan koordinasi dengan DPR RI yang sedang reses, yang kemudian KPU RI tetap menerima pendaftaran terakhir (25 Oktober 2023) Bacapres dan Bacawapres Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka KPU RI telah offside (istilah bola), karena ada wilayah yang dilanggar.
Karena menurut hukum PKPU Nomor 19 tahun 2023 tentang Capres dan Cawapres belum dikoordinasikan kepada DPR RI untuk memperbaiki PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) masalah batas usia capres dan cawapres,” ungkap Suhadi.
Dijelaskannya, dengan menarik benang merah putusan MK dan Pendaftaran Capres dan Cawapres dikaitkan dengan koordinasi dengan DPR RI yang sedang reses, yang kemudian KPU RI tetap menerima pendaftaran terakhir (25 Oktober 2023) Bacapres dan Bacawapres Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka KPU RI telah offside (istilah bola), karena ada wilayah yang dilanggar.
Dalam hukum dikenal dengan PMH (Perbuatan Melawan Hukum) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam kajian aturan, KPU secara hukum bukan tanpa dasar menerima Pendaftaran Capres dan Cawapres terkait batas usia di bawah 40 tahun dan Gibran sebagai cawapres Prabowo belum genap di 40 tahun, dengan tambahan asal sudah pernah menjadi Anggota DPR, DPD dan atau Walikota, KPU sesuai dengan tupoksinya menjalankan putusan MK No. 90/2023,” ulas Suhadi.
Sedangkan putusan MK, kata Suhadi, mempunyai karakteristik yang berbeda dari Perkara lainnya seperti: Tidak adanya banding, Kasasi dan atau PK. Kemudian, putusan seketika (setelah diucapkan dan di Ketuk Palu) final dan mengikat. Dalam bahasa hukumnya Final and Binding. Ketentuan tidak ada upaya hukum dan atau Final and Binding atau Pertama dan terakhir diatur dalam Pasal 10 ayat 1 UU MK Nomor 11 tahun 2003.
“Terkait kepada aturan itu, maka putusan MK bukan hanya final and binding namun akibatnya mengikat kepada Instansi terkait dalam hal ini; Pemerintah, DPR dan lain-lain. Atas dasar keberlakuan itu maka KPU harus tunduk kepada UU dalam rangka pelaksanaannya dari putusan MK. Karena dengan amar putusan itu, terkait bunyi pasal 169 huruf q sudah tidak mengikat lagi sepanjang menyangkut batas usia, dengan tambahan asal sudah pernah menduduki jabatan publik dan ini dalam hukum putusan MK dimaknai sebagai peraturan baru terkait batas usia, maka berlaku azas hukum, lex posterior legi priori – yang berarti Peraturan baru menghapus peraturan yang lama,” papar Suhadi.
Mengenai alasan KPU tidak terlebih dahulu meminta pendapat kepada DPR, kata Suhadi, tentunya punya alasan yang kuat.
Pertama DPR sedang reses sedangkan KPU telah memberi batas penutupan Pendaftaran tanggal, 25 Oktober 2023 dan hal tersebut tidak mungkin dilakukan mengingat keputusan MK dalam Perkara Nomor 90/2023 sudah final dan mengikat, oleh karenanya tidak ada alasan untuk tidak dijalankan.
Menurut hukum PKPU, lanjut Suhadi adalah sebuah produk peraturan bukan produk UU, sehingga keberadaannya tidak boleh mengalahkan putusan MK yang memaknai uu Nomor 7 tahun 2017 pada pasal 169 huruf q.
Karena menurut azas hukum sebuah peraturan tidak boleh mengalahkan peraturan diatas atau dikenal azas lex superior derogate legi inferior. Terkait masalah hirarki atau urutan kedudukan hukum diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 yang telah diubah dengan UU Nomor 13 tahun 2022, pada Pasal 7 ayat 1 huruf a sampai dengan g. Didalam ayat 2 dikatakan, kekuatan hukum peraturan perundang undangan sesuai dengan hirarki sebagai mana penjelasan Pasal 1 di atas.
“Sehingga dengan merujuk kepada alasan alasan hukum di atas, justru apabila KPU tidak menjalankan Putusan MK sebagaimana harapan Penggugat secara hukum KPU masuk dalam perbuatan melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1365 KUHPerdata, Namun dengan menjalankan isi putusan, maka KPU adalah sebagai pihak yang taat hukum dan taat azas,” pungkas Suhadi.(Yudha Krastawan)