“Dalam 5 tahun terakhir ada gejala Indonesia sedang dalam fase neo-otoritarianisme. Beberapa pihak sudah memastikan gejala-gejala itu dengan bukti-bukti yang sangat kuat,” tuturnya.
Didin menjelaskan bahwa pada era Soekarno yang memainkan isu Nasakom dengan perimbangan kekuasaan antara TNI-AD vs PKI, kemudian Soekarno menciptakan suatu ekosistem hingga MPR ketika itu memutuskan sebagai presiden seumur hidup meski dengan dekrit Soekarno sendiri. Pada era Soeharto menciptakan partai pelopor agar proses pembangunan ekonomi berlanjut dengan industrialisasi tanpa instabilitas politik dengan represi politik domestik. Sejak 2014 Presiden Jokowi tampil dengan program-program nyata dan populis dengan indikasinya parlemen yang pro kekuasaan semula 65 persen menjadi 85 persen pro kekuasaan.
“Ada banyak mekanisme pelumpuhan check and balance di parlemen dalam mengontrol proses legislasi dan lainnya, sehingga ada 8 Undang-undang yang konon bukan merupakan kepentingan rakyat banyak seperti UU KPK, UU Minerba, UU Ciptaker, UU Kesehatan dan lainnya,” ujar Didin.