IPOL.ID – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Elektronika (PRE) tengah mengembangkan beberapa produk biosensor.
Peneliti Ahli Utama PRE BRIN Robeth Viktoria Manurung fokus pada penelitian biosensor berbasis elektrokimia, dengan memanfaatkan komposit graphene/ZnO nanoparticles. Perangkat ini digunakan untuk mendeteksi kadar biomarker human SAA untuk treatment kanker paru maupun tingkat keparahan pasien penderita COVID-19.
Spesifikasi teknis dari biosensor yang sedang dikembangkan ialah menggunakan jenis sampel berupa serum darah atau saliva pasien, menggunakan jenis transduser elektrokimia, dengan rentang pengukuran antara 10 hingga 200 miligram per liter. Perangkat ini bersifat portabel dan terkoneksi dengan smartphone.
Selain itu, Robeth juga mengembangkan biosensor berbasis elektrokimia untuk deteksi virus dengue, menggunakan logam transisi metal oksida berbahan nikel-kobalt. “Harapannya, perangkat ini akan digunakan sebagai peralatan portabel yang mampu dihubungkan dengan smartphone,” kata Robeth dikutip brin.go.id belum lama ini.
Selain penelitian biosensor, Robeth dan tim juga telah menghasilkan prototipe sensor untuk deteksi kandungan unsur hara tanah maupun deteksi pencemaran lingkungan.
“Hasil-hasil tersebut sudah dipublikasikan di jurnal global bereputasi menengah atau tinggi,” imbuhnya.
Dijelaskan Robeth, biosensor adalah perangkat analisis yang menggabungkan komponen hayati dengan pendeteksi fisikokimia untuk mendeteksi zat kimia tertentu, sehingga menghasilkan luaran yang terukur.
Kelebihan perangkat yang diciptakannya antara lain bersifat portabel, mudah dioperasikan, dan tidak memerlukan backup supply. Biosensor yang dikembangkan juga dapat terintegrasi dengan IoT & machine learning.
Namun, menurut Robeth, perangkat yang dia kembangkan ini masih memiliki kelemahan, yakni pada bahan baku yang bergantung impor. “Bahan baku untuk pembuatan biosensor sebagian besar merupakan produk impor. Hal ini berimbas kepada biaya produksi yang mahal,” jelas Robeth.
Karena itu, lanjut dia, perlu kolaborasi interdisipliner antara ilmuwan dan insinyur ataupun penggiat dari berbagai bidang, seperti biologi, kimia, ilmu material, dan elektronik.
Inovasi dalam desain sensor, material, teknik pemrosesan sinyal, dan metode analisis data sangat penting untuk mengatasi tantangan ini dan memajukan bidang biosensor.
“Kolaborasi ini dapat dilakukan dengan pihak dalam maupun luar negeri,” katanya.
Tantangan lainnya, tutur Robeth, adalah bagaimana mencapai sensitivitas dan selektivitas yang tinggi, dengan tetap menjaga stabilitas dan reproduktivitas.
Sensitivitas, artinya memastikan bahwa biosensor dapat mendeteksi analit target konsentrasi rendah secara andal. “Faktor-faktor seperti noise, interverensi dari senyawa lain, dan efisiensi transduksi sinyal dapat memengaruhi sensitvitas biosensor,” terang Robeth.
Sedangkan selektivitas penting bagi biosensor untuk dapat membedakan analit target dari molekul lain yang ada dalam sampel. “Mencapai selektivitas tinggi dapat menjadi tantangan, terutama dalam sampel biologis yang kompleks. Di mana, mungkin terdapat banyak zat yang mengganggu,” jelasnya.
Stabilitas, yakni menjaga stabilitas komponen biosensor dari waktu ke waktu. Hal ini penting untuk penggunaan jangka panjang dan hasil yang dapat diandalkan.
“Faktor-faktor seperti degradasi unsur biologis, hilangnya aktivitas enzim, atau perubahan sifat fisik bahan sensor dapat memengaruhi stabilitas biosensor,” tambah dia.
Dan reproduktivitas adalah memastikan biosensor dapat memberikan hasil yang konsisten dan dapat direproduksi pada sampel (batch) yang berbeda. Ini sangat penting untuk penerapan praktisnya.
Variabilitas dalam proses manufaktur, komponen sensor, atau kondisi lingkungan dapat memengaruhi reproduktivitas pengukuran biosensor. (tim)