“Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan oleh lembaga penyiaran televisi dan radio serta media digital mereka,” ujarnya dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (14/5/2024).
Secara subtansi, sambung Teguh, aturan yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi oleh lembaga penyiaran dapat diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman kemerdekaan pers di tanah air.
Teguh juga menggarisbawahi, masyarakat khawatir RUU Penyiaran itu menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri praktik jurnalistik yang profesional dan berkualitas.
Selain itu, huruf k di dalam Pasal 50B ayat (2) RUU Penyiaran melarang penayangan “isi siaran” dan “konten siaran” yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Menurut Teguh, bagian ini sangat multi tafsir dan berpotensi menjadi “pasal karet”. Dia mengingatkan, penilaian terhadap “berita bohong” adalah domain dan kewenangan Dewan Pers seperti diatur dalam UU Pers yang disemangati UUD 1945.