IPOL.ID – Polusi udara di Jabodetabek kembali memburuk. Pada 1 Juli 2024 pukul 08.00 WIB, IQAir mencatat Jakarta berada di peringkat empat kota paling berpolusi di dunia dengan konsentrasi PM2.5 sebesar 82 μg/m3 (kategori tidak sehat).
Buruknya kualitas udara itu bakal berdampak pada kesehatan fisik, terutama terkait pernapasan. Studi gabungan antara Nafas bersama Halodoc mengungkapkan, terdapat risiko peningkatan kasus penyakit pernapasan sebesar 34% saat terjadi kenaikan polusi PM2.5 sebesar 10 μg/m3.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa buruknya kualitas udara tak hanya akan berdampak pada kesehatan fisik, melainkan juga dapat memengaruhi kondisi kesehatan mental.
Merujuk pada studi yang terbit pada PubMed Central, polusi udara berdampak pada berkurangnya tingkat kebahagiaan seseorang dan juga meningkatkan tingkat gejala depresi.
Studi yang terbit pada jurnal Environmental Pollution juga mengungkapkan, terdapat relevansi antara peningkatan risiko depresi dengan paparan jangka panjang terhadap PM2.5. PM 2.5 sendiri merupakan partikel polusi udara terkecil berbahaya bagi manusia karena partikel itu tak dapat disaring tubuh.
Psikolog Patricia Elfira Vinny, Mitra Psikolog Halodoc mengungkapkan, selain dapat menyebabkan dampak terhadap kesehatan fisik, paparan polutan udara pada jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, psikosis, dan bahkan demensia.
Selain itu, terdapat indikasi bahwa anak-anak dan remaja terpapar polusi udara secara terus menerus pada tahap kritis perkembangan mental mereka, akan lebih berisiko mendapat masalah kesehatan mental di masa depan.
“Risiko ini akan menjadi jauh lebih mungkin dialami masyarakat yang tinggal di kawasan metropolitan seperti Jabodetabek. Karena penduduk di kota metropolitan cenderung memiliki kondisi psikososial lebih kompleks,” kata Psikolog Patricia di Jakarta, Senin (1/7/2024).
Kemudian, lanjut Patricia, adanya kemacetan dialami setiap hari di tengah kualitas udara buruk, hingga masalah finansial dan tekanan pekerjaan, menjadi faktor pendukung yang buat masyarakat di wilayah metropolitan berpolusi udara tinggi lebih rentan terkena gangguan kesehatan mental.
“Apabila polusi udara berlangsung terus menerus, maka jumlah penduduk di Indonesia yang mengalami gangguan kesehatan mental akan berpotensi terus meningkat,” imbuhnya.
Saat ini, data dari Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa 1 dari 10 orang di Indonesia telah mengalami gangguan kesehatan mental. Di sisi lain, terdapat permintaan konsisten untuk layanan kesehatan mental di dalam platform Halodoc selama satu tahun terakhir.
Lebih lanjut, Patricia menekankan pentingnya berkonsultasi dengan psikolog ataupun psikiater ketika merasa mengalami gejala-gejala awal dari gangguan kesehatan mental.
“Untuk menjaga kesehatan mental di tengah kualitas udara buruk dan berbagai stressor lainnya, masyarakat diimbau tidak self-diagnose dan berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater supaya mendapatkan penanganan tepat,” imbau Patricia.
Sejurus hal tersebut, Halodoc sebagai ekosistem layanan kesehatan digital pun terus mengimbau masyarakat untuk dapat menjaga kesehatan mental sama seperti fisik.
Hal itu diutarakan oleh Veronica Utami, Chief Operating Officer Halodoc bahwa Halodoc siap menjadi teman hidup sehat bagi masyarakat, termasuk dalam menghadapi dampak psikologis dari polusi udara.
“Masyarakat dapat memanfaatkan fitur ‘Kesehatan Mental’ di aplikasi Halodoc untuk berkonsultasi melalui chat ataupun dengan video call dengan psikolog dan psikiater kami,” ujar Veronica.
Guna semakin memudahkan masyarakat, sambungnya, layanan konsultasi psikiater dan psikolog di Halodoc tersedia dengan harga kompetitif mulai dari Rp15.000,- per sesi.
“Halodoc juga menyediakan berbagai tes kesehatan mental sebagai asesmen awal sebelum berkonsultasi supaya psikolog dan psikiater kami dapat memberikan terapi dan diagnosa lebih akurat kepada pengguna,” tambahnya.
Beberapa gejala awal dari gangguan kesehatan mental, terutama gangguan depresi, dapat dialami masyarakat, antara lain, menurunnya kemampuan berkonsentrasi, rasa tidak tenang, ketidakmampuan membuat keputusan, hingga gangguan tidur. Bahkan dalam jangka panjang berpotensi mengakibatkan bunuh diri.
Studi National Bureau of Economic Research Cambridge mengungkapkan bahwa polusi udara meningkatkan jumlah kematian bunuh diri hingga 0,49% pada kasus bunuh diri harian setiap peningkatan 1 g/m3 PM2.5 harian.
“Dalam jangka panjang, gangguan kesehatan mental akibat polusi udara tak tertangani baik juga berpotensi dapat mengakibatkan bunuh diri,” tutup Veronica. (Joesvicar Iqbal)