IPOL.ID – Setiap orang atau pengendara yang mengemudikan kendaraan bermotor (Ranmor) wajib berlaku wajar dan penuh konsentrasi saat berada di jalan raya.
Pemerhati Transportasi dan Hukum, Budiyanto mengatakan, penuh konsentrasi ini secara eksplisit dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penuh konsentrasi adalah penuh perhatian dan seorang pengemudi tidak terganggu perhatiannya ketika berkendara, karena penggunaan handphone (hp), menonton televisi (tv) dan video yang terpasang pada kendaraan.
“Menggunakan hp dan menonton tv serta video yang terpasang dikendaraan akan mengganggu konsentrasi secara linier akan mempengaruhi kemampuan dalam mengemudikan kendaraan,” kata Budiyanto di Jakarta Selatan, Senin (29/7/2024).
Dikatakan Budiyanto, menurunnya konsentrasi dan kemampuan mengemudi akan sangat berpotensi terjadinya kecelakaan lalu lintas. Faktor manusia atau pengemudi menjadi tolak ukur untuk dapat memahami dan mengimplementasikan etika atau tata cara berlalu lintas yang benar.
Menurutnya, kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada umumnya karena manusia abai terhadap etika dan tata cara berlalu lintas di jalan raya. Faktor human error menjadi salah satu penyebab tertinggi terjadinya kecelakaan lalu lintas (laka lantas).
Bahkan menurut penelitian dari World Health Organization (WHO) bahwa ranking pertama penyebab kecelakaan lalu lintas disebabkan faktor manusia (Human error) dengan persentasi 84 persen.
“Sikap dan perilaku pengemudi yang arogan, ugal-ugalan dan abai terhadap ketentuan yang ada serta tidak melaksanakan teknik mengemudi defensive driving membentuk hazard berpotensi kecelakaan lalu lintas,” ujarnya.
Pengemudi ranmor yang tidak konsentrasi karena menggunakan hp, menonton tv dan video yang terpasang pada kendaraan merupakan pelanggaran lalu lintas, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 750.000 (Tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
“Ketentuan pidana sebagai dasar untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas di atas. Penegakan hukum merupakan ultimum remedium atau pilihan terakhir”.
Sehingga langkah-langkah edukasi, sambung Budiyanto, pencegahan secara bersamaan wajib dilakukan sebelum menyentuh pada pilihan terakhir berupa penegakan hukum. Penegakan hukum sebagai shock terapi agar dapat menimbulkan efek jera dan tidak melakukan kembali tindakan melanggar hukum.
“Banyak yang berpendapat bahwa tingginya pelanggaran karena disebabkan penegakan hukum tidak tegas dan tidak konsisten. Walau anggapan itu menurut hemat saya masih bersifat hipotesa yang perlu dibuktikan kebenarannya,” tukasnya.
Kegiatan yang simultan atau menyeluruh dari mulai edukasi, pencegahan dan penegakan hukum harus paralel dan menjadi program yang perlu dilakukan secara berkelanjutan. Dampak pelanggaran dan kecelakaan dapat ditekan atau diminimalisir.
“Ingat bahwa sesuai dengan analisa dan evaluasi, setiap kejadian kecelakaan diawali dari pelanggaran lalu lintas. Menggunakan hp, menonton tv dan video merupakan pelanggaran lalu lintas yang berpotensi terjadinya laka lantas,” tutup Budiyanto. (Joesvicar Iqbal)