IPOL.ID – Penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak secara damai tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Wakil Ketua LPSK, Sri Nur Herwati mengungkapkan, penyelesaian kasus secara damai merugikan korban karena mengakibatkan hilangnya hak untuk mendapat pendampingan psikologis.
Padahal anak korban kekerasan seksual mengalami trauma berat akibat kejadian sehingga butuh pendampingan psikologis untuk proses pemulihan, bahkan dalam jangka panjang.
“Sangat merugikan, terutama pemulihan korban dan potensi keberulangan,” tegas Sri saat dikonfirmasi awak media di Ciracas, Jakarta Timur, melansir Minggu (28/7/2024).
Selain hilangnya hak korban, penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak secara damai membuat para pelaku tidak mendapat efek jera akibat tindak pidana mereka lakukan.
Imbasnya kasus kekerasan terhadap anak kian bertambah karena para pelaku merasa dapat lolos dari jerat hukum, hal ini menurut LPSK dapat berdampak buruk bagi banyak sektor.
“Kalau semua orang anggap TPKS mudah diselesaikan, penegakan hukum lemah, banyak korban. TPKS membahayakan segala sektor, kesehatan, tenaga kerja, sosial, stabilitas nasional,” tukasnya.
Sri menambahkan, berdasar kasus TPKS yang pernah ditangani LPSK ada berbagai sebab penyelesaian kasus secara damai, di antaranya korban merasa kasus dialami sebagai aib yang harus disembunyikan.
Adanya tekanan, minimnya dukungan dari keluarga bagi korban ketika ingin menempuh proses hukum atas kasus dialami, hingga pendampingan kurang optimal dari penasihat hukum.
“Kurang dukungan keluarga dalam hal pelaku (kekerasan) bapak tiri, atau keluarga dekat, dan Ibu alami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau ada tekanan dari suami,” beber Sri. (Joesvicar Iqbal)